Rabu, 29 Juni 2011

The True Trust

"An, kowe neng tengah yo"
"Siapp, ning aq dibantu lho. Nek maju mundur ki aq rakuat je"
"Yo le nge bek i ki aq ro tejo wae, le nyerang ridok ro zakik. Kowe neng tengah wae!"
"Hmm, okok"

Hari itu memang jadwal kelasku bertanding futsal dengan kelas IPA 1. Kali ini kami sepakat bermain enam lawan enam. Nah, yang di atas tadi itu adalah percakapanku dengan Aldifi temanku. Bukan kebetulan jika aku berada di posisi tengah ketika futsal. Mungkin karena efek dari film kartun "Tsubasa", hahaha. Tapi aku memang menikmati bermain di posisi ini. Posisi dimana aku bisa mengatur pola penyerangan, menerobos masuk pertahanan lawan, terkadang mencetak skor. Bisa juga membantu pertahanan, melindungi gawang sendiri. Bukankah itu semua terdengar luar biasa?

Maka di sana lah aku jika sedang bermain. Aku ikut membantu penyerangan sampai ke depan, tetapi juga berada di garis petahanan belakang. Efeknya jelas, staminaku terkuras habis. Aku hanya bisa  bermain maksimal di menit-menit awal. Selalu begitu, hampir di setiap pertandingan begitu. Sampai hari itu aku bercakap-cakap dengan Aldifi temanku. "Yo le nge bek i ki aq ro tejo wae, le nyerang ridok ro zakik. Kowe neng tengah wae!" katanya. Dari sana aku mulai berpikir.

Bayangan permainanku yang dulu mulai terbentuk di pikiranku. Aku memang berada di tengah. Tapi aku sering berada dibelakang bek. Aku juga ada di tengah, tapi aku sering melewati penyerang. Kulihat aku dalam benakku. Semakin kulihat, semakin kusadar. Ternyata banyak kesalahan yang kubuat. Percaya pada teman, itu yang kurang pada diriku saat bermain. Aku tidak yakin pada Tejo  dan Aldifi yang menjadi bek. Aku tidak yakin pada Zaki dan Ridho yang menyerang. Akibatnya jelas, tugasku sebagai penyeimbang tim tidak kulaksanakan dengan maksimal.  Bermain di tengah memang fleksibel, bisa maju bisa mundur. Tetapi tidak dalam arti yang berlebihan.

Dalam sebuah tim, ada banyak tugas yang harus dilakukan. Masing-masing anggota tim memiliki amanah, begitu pula dengan diriku. Satu hal yang penting, tak ada tim tanpa kerjasama, tak ada tim tanpa kepercayaan. Bolehlah engkau membantu, tapi selesaikan dulu amanahmu!! Memercayakan sesuatu pada orang lain terkadang lebih baik daripada membantunya menyelesaikan amanahnya.

Senin, 27 Juni 2011

jejak 2010

2010, ketika itu aku masih kelas 11. Entah apa yang harus kukatakan untuk mendeskripsikan tahun itu. Tahun belajar? ah, kurasa sangat tidak cocok bila kukatakan begitu. Tahun menganggur? tentu bukan. Tahun menjemukan? mustahil! buktinya, aku terkadang merindukan saat-saat itu lagi. Tahun menggembirakan? tidak sepenuhnya begitu. Aku masih ingat ketika aku harus menanggung beban pikiran yang sangat berat di tahun itu, dan itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Ahh, yang jelas ada beribu cerita berjuta makna disana. Mengingat kejadian-kejadian pada tahun itu membuatku tersenyum sendiri. Senyum bahagia, sering pula senyum malu. Bersyukur pasti, karena Allah telah memberikan nikmat-Nya yang tiada duanya lewat masa-masa itu.

Sering sekali bangun kesiangan, terlambat sholat shubuh, itulah aku waktu itu. Pagi menjadi kurang menyenangkan karena biasanya aku harus tiba pada jam ke-0. Praktis aku hanya punya waktu sebentar untuk bersiap-siap menuju sekolah. Belum lagi ditambah waktu perjalanan. Akibatnya aku sering meninggalkan sarapanku. Sampai di sekolah pun aku masih terlambat. Bukannya mau belajar pagi, bukannya mau bersih-bersih kelas, bukannya punya janji dengan teman, tujuanku berangkat jam ke-0 tidak lain adalah untuk membicarakan acara sekolah bersama 3 orang temanku. Aku dan 3 temanku memang diamanahi sesuatu yang tidak ringan. Maka konsekuensinya kami harus mempersiapkan segalanya dengan baik. Karena ketiga temanku semuanya orang sibuk, kami memutuskan untuk bertemu di jam ke-0 setiap hari non PM. PM adalah Pendalaman Materi, dilakukan pada jam ke-0. hari selasa, rabu, dan kamis. Jadi tiap hari aku harus berangkat jam ke-0. Tiga hari untuk belajar dan tiga hari untuk pusing memikirkan acara sekolah. Padahal itu masih pagi. Sungguh terlalu! itupun masih dilanjutkan pada jam 07.15-14.00. Tak ada yang berpikir fisika dan pelajaran lain itu semudah membalikkan tangan kan? begitu juga aku. Belum lagi ditambah pikiran acara OSIS sekolah. Nah, disana lah lengkap pusingku. 14.00-maghrib, waktu menyenangkan untuk anak sekolah, tapi bukan anak sekolahku. Entah bagaimana siswa sekolahku sangat anti pulang pada jam awal. Selalu saja ada kegiatan yang harus dilakukan pada waktu-waktu tersebut. Kadang memang harus, kadang juga diharus-haruskan Maka tidak mustahil pada jam 8 malam puluhan motor masih terparkir di sekolahku. Beruntung bagi kami bisa pulang sebelum maghrib. Tapi biasanya itu hanya 2 atau tiga kali dalam seminggu. Pulang jam 2? jangan harap. Keadaan seperti itu dalam satu tahun mungkin hanya terjadi sebanyak hitungan jari. Seperti itulah siswa kelas 11 di sekolahku, seperti itulah aku saat itu.

<bersambung ke "Cahaya Janji">