Minggu, 21 Agustus 2011

Buku pun Ternyata Berbuah Rindu


Kamu pasti tahu kan definisi rindu? Atau mungkin malah tak perlu didefinisikan? Tapi ada satu kalimat, dari temanku, dari kakak kelasku, yang cukup menggambarkan seperti apa rindu itu. “Tak ada yang setia melebihi rindu, ia datang begitu kau pergi”. Wow banget, hahaha. Nah,  jika kau tahu, sekarang aku sedang merasakan sesuatu yang kita sebut sebagai rindu. Poor me! Or i’d rather say, Lucky me!?? Hmm,,

Di kalangan para pujangga, kuyakin kata ini sering menemani dan menginspirasi (pasti pasti temanku yang satu itu ngrasa, haha). Apalagi di usia-usia sepertiku dan kalian, teman. Tak perlu menipu diri. Semua sudah terlalu jelas. Ya, aku sedang membicarakan tentang si dia #mukamerah. Masa remaja punya satu new comer challanger, heart flowerish virus(???), vmj. New comer ini biasanya lebih kuat dari kita, akibatnya kalian tahu lah. Kelam. Batas hubungan ikhwan akhwat seringkali terlanggar. Komunikasi biasanya menonjol di sini. Jika tak percaya, lihatlah kasusku dan dia#mukamerahlagi. Ketika sadar bahwa itu sudah melebihi batas, maka dia mengurangi komunikasi. Dan disini aku meraskan rindu, tapi itu dulu. Sekarang pikiranku sudah sedikit lebih cerah. Tak perlu melanggar batas lagi untuk belajar. Masalalu pun tak perlu dimaki, cukup dimasukkan dalam cv, dijadikan pembelajaran. “Wanita yang buruk bagi lelaki yang buruk, lelaki yang buruk bagi wanita yang buruk, wanita yang baik bagi lelaki yang baik, dan lelaki yang baik bagi wanita yang baik, ...” (An-Nuur : 26). Cukup itu peganganku, maka sekarang tinggal fokus pada memperbaki diri dan memerangi nafsu. Menanti hingga saatnya nanti. Tidak mudah memang, tapi setidaknya alasan rindu yang pertama sudah tererduksi.

Rindu yang kedua biasanya muncul di kalangan anak kos. Mereka datang dari tanah sebrang, merelakan diri jauh dari kampung halaman, semata-mata dengan tujuan menuntut ilmu. Sungguh mulia. Tidak mudah juga. Banyak tantangan di negeri orang. Rindu salah satunya. Entah rindu kampung halaman, rindu orang tua, atau apapun. Yang jelas rindu pasti datang. Itu bagi mereka. Karena aku bukan anak kos, dan karena aku tinggal di rumah ortu, alasan rindu yang kedua pun bukan masalah bagiku.

Yang ketiga tentang sebuah tali kokoh. Tali silaturrahim namanya. Dari sebuah ta’aruf, dilanjutkan tafahum, berkembang menjadi ta’awun, lalu takaful, terakhir itsar. Mereka bukanlah sembarang tahapan, karena dari mereka lah muncul sahabat. Sebuah tali yang takkan terputus oleh apapun, insyaallah. Bulan lalu, sahabat-sahabatku satu per satu pergi melaksanakan petuah Imam Syafi’i. Bandung, Surabaya, Jakarta, entah mana lagi tujuan mereka. Kini jarak terhampar di antara kami. Meskipun kutahu tali persahabatan ini takkan terputus, namun ternyata jarak berakibat pada sebuah rindu. Untungnya ada yang namanya teknologi, maka alasan ketiga juga masih teratasi.

Kini aku dihadapkan pada sebuah rindu yang aneh. Sangat aneh. Rinduku ini tentang sebuah kenangan yang selama tiga tahun terakhir mewarnai masa sekolahku. Masuk akal memang. Tapi media yang memunculkannya sangatlah tidak umum. Buku catatan pelajaran, my exact daily updated diary. Prasasti yang tidak hanya berisikan pelajaran, tapi juga suasana hati, potret ruang kelas, candatawa dengan teman, guru-guru yang hebat dan semua hal yang berbau teladan. Ya, kumpulan buku catatan SMA itulah yang membuatku rindu. Nanti sore aku akan memberikan tujuh belas buku catatan SMA ku itu ke adik kelas. Bukan sesuatu yang penting bagiku yang sudah lulus dari bangku sma. Tapi sungguh mengejutkan, ketika hari ini aku mendapatkan fakta baru, bahwa buku pun ternyata berbuah rindu.
 
  Kamar:15.32:20082011,,,
                                                                

Minggu, 14 Agustus 2011

Hatiku Tak Menerima, Walau Lingkungan Memaksa



Aku ini sungguh kurang ajar. Semauku sendiri. Kalau ada kesempatan enak, langsung kusambar. Giliran kewajiban yang belum terlihat buahnya, kutinggalkan. Aku ingin sukses, tapi tak ingin beratnya proses. Bingung. Indahnya pemandangan di puncak gunung pasti butuh perjuangan di lerengnya, nikmatnya buka puasa tak mungkin lepas dari masalah di siang hati. Aku tahu itu, hanya sekedar tahu. Kusampaikan ilmu itu, kusebarkan pemahamanku tentangnya, kupengaruhi temanku, tapi tak kulakukan. 

Entah bagaimana aku selalu bisa mengelak dari benda pahit yang sebenarnya akan berbuah manis. Malasku terlalu dominan, tak secuil pun memberi ruang untuk rajinku. Lidahku dibuatnya terlalu lentur untuk beralasan. Miris. 

Hal lain yang membuatku lebih heran, dalam keterpurukanku seperti itu aku masih bisa mendapat kepercayaan. Terkadang bahkan penghargaan. Hatiku tak menerima, walau lingkungan memaksa. “Engkau dihormati bukan karena kau hebat, bukan karena kau kompeten, bukan karena apapun, tapi semata-mata hanya karena Allah belum membeberkan keburukan-keburukanmu selama ini”, kurang lebih itu yang kudengar dalam sebuah acara. Memang benar. Sangat benar. Tahukah? Ketika dirimu dianggap baik oleh lingkungan, tapi sebenarnya dirimu buruk, sungguh tak nyaman rasanya. Aku takut nifak. Aku tak mau berada di nerakanya neraka. 

Sungguh, aku ingin berubah.

Jumat, 12 Agustus 2011

Aku Sudah Pindah

           Kami sahabat, aku dan Sulthon. Jelas saja, pagar rumah kami hanya dibatasi oleh sebuah jalan, tak ada yang lain. Belum masuk TK, aku sudah akrab bermain dengannya. Jika hari ini jadwalku main ke rumahnya, berarti besok adalah jadwalnya bermain ke rumahku. Begitulah, hari demi hari kami lalui dengan harmonis, sebagai teman, lebih lagi sebagai sahabat.
           Keluarga Sulthon catur warga. Ayah ibunya kupanggil om dan tante, beliau sepantaran dengan orangtuaku. Om anggota kiai kanjeng, tante bekerja di sebuah perusahaan swasta terkenal. Lalu ada Mbak Ana, kakaknya Sulthon. Jarak umurnya cukup jauh denganku dan Sulthon. Aku tidak tahu pasti, mungkin sekitar 10 tahun. Om, tante, dan Mbak Ana sudah akrab denganku. Keluarga Sulthon tergolong kaya. Rumahnya tingkat dan besar. Bagian atas digunakan sebagai kos putri, ada belasan kamar. Yang bawah untuk keluarganya. Dari taman depan yang minimalis tapi indah, garasi, ruang tamu dengan akuarium berisi ikan arwana, ruang keluarga yang sangat luas dengan segala peralatan elektronik terupdate (termasuk PS waktu itu) dan dihias oleh fountain di dinding kiri, dapur, kamar-kamar, taman belakang, kolam kecil berisi kura-kura, bahkan studio musik pribadi. Maka aku selalu ingin bermain di rumahnya.
            Jadwal kami bermain biasanya sore hari, sekitar ashar sampai maghrib kira-kira. Tentu berbeda jika hari ahad, karena kami pasti bermain seharian. Aku ingat betul hari itu, bangun-bangun aku langsung sholat dan mandi. Mandiku pun terbilang cepat. Lalu aku sarapan sambil menonton tv. Jaman aku SD, ahad benar-benar hari anak. Sejak jam 6 pagi sampai jam 12 siang selalu ada kartun, sungguh nikmat. Tapi hari itu berbeda, TV rumah bukanlah tujuan utamaku. Belum genap jam tujuh langkahku sudah tertuju ke rumah Sulthon. Sebenarnya kalau tidak dihalangi ibuku, aku pasti sudah di depan gerbang rumahnya jam enam tadi.
            Di depan rumahnya bukan berarti bisa langsung masuk. Apalagi kalau pagi. Masalah kami sama, bangun kesiangan. Aku sudah cukup parah sebenarnya, tapi Sulthon lebih parah lagi. Maka jika aku datang jam tujuh, yang membuka gerbangnya pasti bukan dia. Aku sudah hafal. Aku pun masuk ke ruang keluarga. Di sini aku menonton tv, sambil menunggu Sulthon dibangunkan. Beberapa menit kemudian dia menyapaku dengan muka bangun tidurnya, lalu pamit lagi, mandi. Aku tak peduli, yang penting ada tivi. Sungguh kurang ajar aku. Tapi tak apa, anak-anak memang polos.
            Sebenarnya bukan tivi yang kutunggu. PS, apalagi kalau bukan. Aku curiga dengan benda yang satu ini. Entah dukun mana yang dipakai, bisa-bisanya benda ini adiktif. Kalau mulai main jam 10, paling berhentinya duhur. Aku pulang cuma untuk makan dan sholat. Lima belas menit, lalu PS lagi. Adzan ashar baru benar-benar menghentikan kami. Yang unik disini, kami punya sebuah kompetisi hebat. PS berhenti, lomba baru mulai. Start di jalan depan, finish juga disana. Kusebut ini lomba mandi kilat, haha. Ya, aku dan Sulthon harus beradu cepat dalam urusan mandi. Siapa yang muncul di jalan depan lebih dulu, dialah yang menang. Seperti itulah, orangtuaku hanya bisa tersenyum melihat tingkahku. Pasti om dan tante juga. Kadang menang, sering kalah. Begitulah kami. Dasar anak-anak.
            Tiba-tiba aku terbangun. Sebuah istirahat yang membangkitkan kenangan lama, mematri rentetan pengalaman masa kecilku. Sebuah kenangan yang telah tertutupi hampir sepuluh tahun. Tersenyum-senyum sendiri, merangkai puzzle yang baru saja kuimpikan. Sebuah senyuman dengan rasa rindu di dada, dengan bulir air mata di muka. Kini rumah kami tak lagi terpisah oleh jalan. Aku sudah pindah.
                                                *Mimpi dalam tidurku, 12 ramadhan 1432 H*

Senin, 01 Agustus 2011

Lalu Semuanya Bubrah


            Seperti beragamnya buah-buahan, warna-warni sayuran, corak-corak hewan, masing-masing manusia pun berbeda. Sebeda wc dengan anduk, panci dengan kasti, wkwk. Wah wah, geje ini. Yah, tapi inilah yang terbesit di pikiranku sejak tadi malam. Kita tu sama-sama manusia, tapi og ya bedanya banyak banget. Makan juga sama-sama makan nasi, tapi kelakuan juga beda. Tiap hari sama-sama mandi, tapi sifat n kebiasaan lagi-lagi beda. Keren tenan kan.

            Nah, salah satu perbedaan itu terlihat di sini nih kawan. Mungkin kamu bisa langsung tidur di tempat dalam dua detik begitu melihat bantal dan guling terbaring rapi di kasur. Atau mungkin kamu baru bisa tidur kalau sudah berbaring di kasur selama satu menit. Betapa beruntungnya dirimu kalau kamu memang seperti itu. Soalnya ada orang yang berlawanan sekali dengan deskripsi itu. Mungkin kamu mudah tidur mudah bangun, tapi mereka sulit tidur sulit bangun. Kalau kamu berbaring satu menit langsung tidur, mereka mungkin satu jam masih belum tidur. Dan tahukah? Aku termasuk salah satu dari mereka. Wahwah, poor me.

            Gejala sulit tidur sulit bangun ini sudah kurasakan sejak kecil dulu. Jika dalam kondisi biasa, butuh setidaknya satu jam bagiku untuk bisa benar-benar terlelap. Itu masalah pertama. Masih ada lagi. Jika sudah terlelap begitu, aku benar-benar sulit dibangunkan. Entah apa yang membuatku seperti ini, tapi yang jelas ini tidak lah menguntungkan. Rentetan masalah timbul dari kebiasaan tidurku. Kurang tidur, terlambat sholat shubuh, kurang waktu untuk siap-siap beraktivitas, dan masih banyak lagi. Kira-kira ada solusi tidak ya?


            22.05, aku sudah berada di kamar. Lampu sudah mati, bantal dan kasur sudah siap, lalu kurebahkan diriku di sana. Berdoa dalam hati, kucuba untuk tidur. Beberapa aktivitasku hari itu yang masih terbayang di kepalaku langsung kuhapuskan. Kukosongkan pikiran. Kupejamkan mata. Kucari posisi ternyaman yang ada. Lalu aku diam (ceritane iki gek fokus n serius), kuatur nafas dengan perlahan dan konstan. Beberapa menit kulalui dengan tenang. Suasana sangat hening. Detak-detik suara jam dinding kamarku terdengar jelas, begitu pula suara-suara lain. Kudengar suara gerbang rumah bergoyang. Lalu semuanya bubrah. Tiba-tiba, tanpa ada paksaan dari manapun, tanpa ada perintah dariku, terbayang di benakku seekor kucing abu-abu jelek kelebihan lemak sedang berusaha melewati celah-celah sempit di gerbang rumahku. Perutnya yang kelebihan muatan itu dengan terpaksa menyenggol gerbang sehingga menimbulkan getaran audiosonik sekian hertz. Puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan getaran per sekon itu kulihat dalam gerak lambat. Masing-masing getaran memberikan gelombang bunyi yang menyebar ke seluruh penjuru mata angin. Sebagian kecil diantaranya tertangkap oleh daun telingaku. Mereka, yang memang dirancang untuk mengumpulkan gelombang bunyi, langsung memantulkan gelombang-gelombang tersebut ke gendang telingaku. Gendang telingaku bergetar. Kini getaran tersebut telah sampai pada telinga tengahku, menggetarkan tulang martil, yang menyebabkan bergetarnya tulang landasan, pun demikian tulang sanggurdi. Oleh tulang-tulang terkecil di tubuhku tersebut pesan diberikan ke organ korti, tempat mangkal syaraf pendengaranku. Untungnya syaraf bekerja sangat tanggap, pesan elektrik langsung dikirim ke pusat syaraf melalui neuron-neuron konektor. Dendrit-badan sel-akson-dendrit-badan sel-akson, begitu seterusnya hingga mencapai bagian temporal di cerebrumku. Otakku akhirnya menyimpukan sebuah suara yang kukenal sebagai gerbang rumah yang bergoyang. Dan karena itulah mataku kembali terbuka.

            Kucoba cara lain. Kali ini cara klasik, tapi belum pernah kucoba. Apakah itu? Jrengg!!! Domba!!! Bukan dengan cara yang diberikan Mr. Bean, yang kugunakan ini masih metode lompat. Kumulai. Awalnya harus kukerahkan imajinasiku, kusiapkan domba-domba berbulu putih menggulung dan tebal. Dengan setting di padang rumput yang subur, angin semilir, tentulah domba itu berwajah segar. Kuatur agar mereka berbaris rapi di kanan kamera mataku. Domba pertama pun berjalan. Aneh juga, domba itu melompat sendiri, padahal tak ada pagar atau benda lain yang menghalangi jalannya (hahaha). Dia mendarat di sudut kiri pandangan kameraku, lalu berjalan kekiri hingga keluar dari pandangan. Domba kedua bergerak dengan gerakan yang identik. Kumulai menghitung ketika domba melayang di ketinggian. Satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya. Hitungan mencapai lima puluhan, terjadi suatu perubahan. Tempo mulai tak konstan. Kadang terlalu cepat. Pusing juga aku dibuatnya. Maka kubuat lambat, tapi itu pun tak bisa konstan. Betapapun aku masih mempertahankan fokusku, imajinasiku, dan hitunganku. Tak terasa dua ratus hitungan terlewati. Domba yang tadinya segar bercahaya kini mulai kusut, lompatan yang kekar bertenaga kini mulai susut. Itu masalah mereka, bukan masalahku. Kuteruskan menghitung. 

            Menginjak angka tiga ratusan aku mulai berpikir. Scene domba bersetting padang rumput seakan-akan terpause. Gambarnya semakin kabur, yang kini dominan adalah kata-kata ini, “wah, udah hampir empat ratus tapi kok belum ngantuk, belum bisa tidur juga?”. Untuk beberapa saat kata-kata ini menggaung. Sekali lagi, kutepis keraguan. Padang rumput terlihat jelas kembali, play pun dipencet. Hitungan yang macet kini berlanjut. 381…382…383…384…385…386…387…dan masih berlanjut. Tampaknya domba mulai bosan. Mereka tak lagi melompat, kini hanya berjalan dari sisi kanan kamera menuju sisi kiri kamera. Kumaklumi itu, karena aku pun bosan. Tapi sampai titik ini aku belum menyerah. Domba yang berjalan satu per satu itu masih kuhitung. 402…403…404…
Tak lama kemudian gerakan mereka kembali melambat, terlihat semakin loyo,
431…432…433…………..467…468…469…470……………499…500…501…
Gerakan mereka semakin melambat
513…..514…..515…………………………..523…..524…..525…..
Ketika gerakan mereka tak bisa lagi kutolerir, aku memutuskan untuk berhenti. Kuarahkan pandangan ke sekeliling padang rumput, blindspot kameraku selama ini. Aku kaget, ternyata dombanya hanya ada sekitar 10. Awalnya mereka berbaris di kanan kamera. Setelah berjalan sampai hilang dari pandangan kamera, ternyata mereka memutar, kembali manuju tempat awal melalui sisi belakang kamera untuk kembali membuat barisan. Pantas saja domba-domba itu loyo. Wkwkwkwk, ngakak pool!! Cara klasik pun runtuh disini.

Mataku kembali terbuka. Masih segar, belum bisa tidur. Kulihat jam di hapeku. 00.15. Kaget aku dibuatnya. Sudah selarut ini dan aku belum bisa terlelap. Cepat sekali waktu berlalu. Kini saatnya kuterapkan metode pamungkas. 

--------satu jam kemudian---------
            Kulihat lagi hapeku, 01.23, sepertinya metode pamungkasku belum berhasil. Ya sudahlah.