Seperti beragamnya buah-buahan, warna-warni sayuran, corak-corak hewan, masing-masing manusia pun berbeda. Sebeda wc dengan anduk, panci dengan kasti, wkwk. Wah wah, geje ini. Yah, tapi inilah yang terbesit di pikiranku sejak tadi malam. Kita tu sama-sama manusia, tapi og ya bedanya banyak banget. Makan juga sama-sama makan nasi, tapi kelakuan juga beda. Tiap hari sama-sama mandi, tapi sifat n kebiasaan lagi-lagi beda. Keren tenan kan.
Nah, salah satu perbedaan itu terlihat di sini nih kawan. Mungkin kamu bisa langsung tidur di tempat dalam dua detik begitu melihat bantal dan guling terbaring rapi di kasur. Atau mungkin kamu baru bisa tidur kalau sudah berbaring di kasur selama satu menit. Betapa beruntungnya dirimu kalau kamu memang seperti itu. Soalnya ada orang yang berlawanan sekali dengan deskripsi itu. Mungkin kamu mudah tidur mudah bangun, tapi mereka sulit tidur sulit bangun. Kalau kamu berbaring satu menit langsung tidur, mereka mungkin satu jam masih belum tidur. Dan tahukah? Aku termasuk salah satu dari mereka. Wahwah, poor me.
Gejala sulit tidur sulit bangun ini sudah kurasakan sejak kecil dulu. Jika dalam kondisi biasa, butuh setidaknya satu jam bagiku untuk bisa benar-benar terlelap. Itu masalah pertama. Masih ada lagi. Jika sudah terlelap begitu, aku benar-benar sulit dibangunkan. Entah apa yang membuatku seperti ini, tapi yang jelas ini tidak lah menguntungkan. Rentetan masalah timbul dari kebiasaan tidurku. Kurang tidur, terlambat sholat shubuh, kurang waktu untuk siap-siap beraktivitas, dan masih banyak lagi. Kira-kira ada solusi tidak ya?
22.05, aku sudah berada di kamar. Lampu sudah mati, bantal dan kasur sudah siap, lalu kurebahkan diriku di sana. Berdoa dalam hati, kucuba untuk tidur. Beberapa aktivitasku hari itu yang masih terbayang di kepalaku langsung kuhapuskan. Kukosongkan pikiran. Kupejamkan mata. Kucari posisi ternyaman yang ada. Lalu aku diam (ceritane iki gek fokus n serius), kuatur nafas dengan perlahan dan konstan. Beberapa menit kulalui dengan tenang. Suasana sangat hening. Detak-detik suara jam dinding kamarku terdengar jelas, begitu pula suara-suara lain. Kudengar suara gerbang rumah bergoyang. Lalu semuanya bubrah. Tiba-tiba, tanpa ada paksaan dari manapun, tanpa ada perintah dariku, terbayang di benakku seekor kucing abu-abu jelek kelebihan lemak sedang berusaha melewati celah-celah sempit di gerbang rumahku. Perutnya yang kelebihan muatan itu dengan terpaksa menyenggol gerbang sehingga menimbulkan getaran audiosonik sekian hertz. Puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan getaran per sekon itu kulihat dalam gerak lambat. Masing-masing getaran memberikan gelombang bunyi yang menyebar ke seluruh penjuru mata angin. Sebagian kecil diantaranya tertangkap oleh daun telingaku. Mereka, yang memang dirancang untuk mengumpulkan gelombang bunyi, langsung memantulkan gelombang-gelombang tersebut ke gendang telingaku. Gendang telingaku bergetar. Kini getaran tersebut telah sampai pada telinga tengahku, menggetarkan tulang martil, yang menyebabkan bergetarnya tulang landasan, pun demikian tulang sanggurdi. Oleh tulang-tulang terkecil di tubuhku tersebut pesan diberikan ke organ korti, tempat mangkal syaraf pendengaranku. Untungnya syaraf bekerja sangat tanggap, pesan elektrik langsung dikirim ke pusat syaraf melalui neuron-neuron konektor. Dendrit-badan sel-akson-dendrit-badan sel-akson, begitu seterusnya hingga mencapai bagian temporal di cerebrumku. Otakku akhirnya menyimpukan sebuah suara yang kukenal sebagai gerbang rumah yang bergoyang. Dan karena itulah mataku kembali terbuka.
Kucoba cara lain. Kali ini cara klasik, tapi belum pernah kucoba. Apakah itu? Jrengg!!! Domba!!! Bukan dengan cara yang diberikan Mr. Bean, yang kugunakan ini masih metode lompat. Kumulai. Awalnya harus kukerahkan imajinasiku, kusiapkan domba-domba berbulu putih menggulung dan tebal. Dengan setting di padang rumput yang subur, angin semilir, tentulah domba itu berwajah segar. Kuatur agar mereka berbaris rapi di kanan kamera mataku. Domba pertama pun berjalan. Aneh juga, domba itu melompat sendiri, padahal tak ada pagar atau benda lain yang menghalangi jalannya (hahaha). Dia mendarat di sudut kiri pandangan kameraku, lalu berjalan kekiri hingga keluar dari pandangan. Domba kedua bergerak dengan gerakan yang identik. Kumulai menghitung ketika domba melayang di ketinggian. Satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya. Hitungan mencapai lima puluhan, terjadi suatu perubahan. Tempo mulai tak konstan. Kadang terlalu cepat. Pusing juga aku dibuatnya. Maka kubuat lambat, tapi itu pun tak bisa konstan. Betapapun aku masih mempertahankan fokusku, imajinasiku, dan hitunganku. Tak terasa dua ratus hitungan terlewati. Domba yang tadinya segar bercahaya kini mulai kusut, lompatan yang kekar bertenaga kini mulai susut. Itu masalah mereka, bukan masalahku. Kuteruskan menghitung.
Menginjak angka tiga ratusan aku mulai berpikir. Scene domba bersetting padang rumput seakan-akan terpause. Gambarnya semakin kabur, yang kini dominan adalah kata-kata ini, “wah, udah hampir empat ratus tapi kok belum ngantuk, belum bisa tidur juga?”. Untuk beberapa saat kata-kata ini menggaung. Sekali lagi, kutepis keraguan. Padang rumput terlihat jelas kembali, play pun dipencet. Hitungan yang macet kini berlanjut. 381…382…383…384…385…386…387…dan masih berlanjut. Tampaknya domba mulai bosan. Mereka tak lagi melompat, kini hanya berjalan dari sisi kanan kamera menuju sisi kiri kamera. Kumaklumi itu, karena aku pun bosan. Tapi sampai titik ini aku belum menyerah. Domba yang berjalan satu per satu itu masih kuhitung. 402…403…404…
Tak lama kemudian gerakan mereka kembali melambat, terlihat semakin loyo,
431…432…433…………..467…468…469…470……………499…500…501…
Gerakan mereka semakin melambat
513…..514…..515…………………………..523…..524…..525…..
Ketika gerakan mereka tak bisa lagi kutolerir, aku memutuskan untuk berhenti. Kuarahkan pandangan ke sekeliling padang rumput, blindspot kameraku selama ini. Aku kaget, ternyata dombanya hanya ada sekitar 10. Awalnya mereka berbaris di kanan kamera. Setelah berjalan sampai hilang dari pandangan kamera, ternyata mereka memutar, kembali manuju tempat awal melalui sisi belakang kamera untuk kembali membuat barisan. Pantas saja domba-domba itu loyo. Wkwkwkwk, ngakak pool!! Cara klasik pun runtuh disini.
Mataku kembali terbuka. Masih segar, belum bisa tidur. Kulihat jam di hapeku. 00.15. Kaget aku dibuatnya. Sudah selarut ini dan aku belum bisa terlelap. Cepat sekali waktu berlalu. Kini saatnya kuterapkan metode pamungkas.
--------satu jam kemudian---------
Kulihat lagi hapeku, 01.23, sepertinya metode pamungkasku belum berhasil. Ya sudahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar