Jumat, 12 Agustus 2011

Aku Sudah Pindah

           Kami sahabat, aku dan Sulthon. Jelas saja, pagar rumah kami hanya dibatasi oleh sebuah jalan, tak ada yang lain. Belum masuk TK, aku sudah akrab bermain dengannya. Jika hari ini jadwalku main ke rumahnya, berarti besok adalah jadwalnya bermain ke rumahku. Begitulah, hari demi hari kami lalui dengan harmonis, sebagai teman, lebih lagi sebagai sahabat.
           Keluarga Sulthon catur warga. Ayah ibunya kupanggil om dan tante, beliau sepantaran dengan orangtuaku. Om anggota kiai kanjeng, tante bekerja di sebuah perusahaan swasta terkenal. Lalu ada Mbak Ana, kakaknya Sulthon. Jarak umurnya cukup jauh denganku dan Sulthon. Aku tidak tahu pasti, mungkin sekitar 10 tahun. Om, tante, dan Mbak Ana sudah akrab denganku. Keluarga Sulthon tergolong kaya. Rumahnya tingkat dan besar. Bagian atas digunakan sebagai kos putri, ada belasan kamar. Yang bawah untuk keluarganya. Dari taman depan yang minimalis tapi indah, garasi, ruang tamu dengan akuarium berisi ikan arwana, ruang keluarga yang sangat luas dengan segala peralatan elektronik terupdate (termasuk PS waktu itu) dan dihias oleh fountain di dinding kiri, dapur, kamar-kamar, taman belakang, kolam kecil berisi kura-kura, bahkan studio musik pribadi. Maka aku selalu ingin bermain di rumahnya.
            Jadwal kami bermain biasanya sore hari, sekitar ashar sampai maghrib kira-kira. Tentu berbeda jika hari ahad, karena kami pasti bermain seharian. Aku ingat betul hari itu, bangun-bangun aku langsung sholat dan mandi. Mandiku pun terbilang cepat. Lalu aku sarapan sambil menonton tv. Jaman aku SD, ahad benar-benar hari anak. Sejak jam 6 pagi sampai jam 12 siang selalu ada kartun, sungguh nikmat. Tapi hari itu berbeda, TV rumah bukanlah tujuan utamaku. Belum genap jam tujuh langkahku sudah tertuju ke rumah Sulthon. Sebenarnya kalau tidak dihalangi ibuku, aku pasti sudah di depan gerbang rumahnya jam enam tadi.
            Di depan rumahnya bukan berarti bisa langsung masuk. Apalagi kalau pagi. Masalah kami sama, bangun kesiangan. Aku sudah cukup parah sebenarnya, tapi Sulthon lebih parah lagi. Maka jika aku datang jam tujuh, yang membuka gerbangnya pasti bukan dia. Aku sudah hafal. Aku pun masuk ke ruang keluarga. Di sini aku menonton tv, sambil menunggu Sulthon dibangunkan. Beberapa menit kemudian dia menyapaku dengan muka bangun tidurnya, lalu pamit lagi, mandi. Aku tak peduli, yang penting ada tivi. Sungguh kurang ajar aku. Tapi tak apa, anak-anak memang polos.
            Sebenarnya bukan tivi yang kutunggu. PS, apalagi kalau bukan. Aku curiga dengan benda yang satu ini. Entah dukun mana yang dipakai, bisa-bisanya benda ini adiktif. Kalau mulai main jam 10, paling berhentinya duhur. Aku pulang cuma untuk makan dan sholat. Lima belas menit, lalu PS lagi. Adzan ashar baru benar-benar menghentikan kami. Yang unik disini, kami punya sebuah kompetisi hebat. PS berhenti, lomba baru mulai. Start di jalan depan, finish juga disana. Kusebut ini lomba mandi kilat, haha. Ya, aku dan Sulthon harus beradu cepat dalam urusan mandi. Siapa yang muncul di jalan depan lebih dulu, dialah yang menang. Seperti itulah, orangtuaku hanya bisa tersenyum melihat tingkahku. Pasti om dan tante juga. Kadang menang, sering kalah. Begitulah kami. Dasar anak-anak.
            Tiba-tiba aku terbangun. Sebuah istirahat yang membangkitkan kenangan lama, mematri rentetan pengalaman masa kecilku. Sebuah kenangan yang telah tertutupi hampir sepuluh tahun. Tersenyum-senyum sendiri, merangkai puzzle yang baru saja kuimpikan. Sebuah senyuman dengan rasa rindu di dada, dengan bulir air mata di muka. Kini rumah kami tak lagi terpisah oleh jalan. Aku sudah pindah.
                                                *Mimpi dalam tidurku, 12 ramadhan 1432 H*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar