Minggu, 14 Agustus 2011

Hatiku Tak Menerima, Walau Lingkungan Memaksa



Aku ini sungguh kurang ajar. Semauku sendiri. Kalau ada kesempatan enak, langsung kusambar. Giliran kewajiban yang belum terlihat buahnya, kutinggalkan. Aku ingin sukses, tapi tak ingin beratnya proses. Bingung. Indahnya pemandangan di puncak gunung pasti butuh perjuangan di lerengnya, nikmatnya buka puasa tak mungkin lepas dari masalah di siang hati. Aku tahu itu, hanya sekedar tahu. Kusampaikan ilmu itu, kusebarkan pemahamanku tentangnya, kupengaruhi temanku, tapi tak kulakukan. 

Entah bagaimana aku selalu bisa mengelak dari benda pahit yang sebenarnya akan berbuah manis. Malasku terlalu dominan, tak secuil pun memberi ruang untuk rajinku. Lidahku dibuatnya terlalu lentur untuk beralasan. Miris. 

Hal lain yang membuatku lebih heran, dalam keterpurukanku seperti itu aku masih bisa mendapat kepercayaan. Terkadang bahkan penghargaan. Hatiku tak menerima, walau lingkungan memaksa. “Engkau dihormati bukan karena kau hebat, bukan karena kau kompeten, bukan karena apapun, tapi semata-mata hanya karena Allah belum membeberkan keburukan-keburukanmu selama ini”, kurang lebih itu yang kudengar dalam sebuah acara. Memang benar. Sangat benar. Tahukah? Ketika dirimu dianggap baik oleh lingkungan, tapi sebenarnya dirimu buruk, sungguh tak nyaman rasanya. Aku takut nifak. Aku tak mau berada di nerakanya neraka. 

Sungguh, aku ingin berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar