Minggu, 23 Oktober 2011

Pelajaran dari Langit

Tampaknya langit bisa memberi pelajaran,

rabu280911, 16.00 di lapvol JTMI.. Kala itu aku dan teman2ku mendapat cukup banyak tugas dari Mechanical Explorer 2011, ospek prodiku. Jangka waktu pengerjaan hanya 2hari 3malam. Setidaknya tiap hari aku harus menghabiskan setengah malam untuk mengerjakan tugas itu.

Rabu malam di perjalanan pulang, sempat kuamati langit itu. Cerah, sangat cerah. Bulan tipis, Tanda awal dzulqa'dah. Bintang pun bertebaran indah. Damai rasanya.

Ahad021011, hari kedua mecex2011 telah kuselesaikan. Tugas baru dari mecex menumpuk, ditengah beberapa tugas kuliah yang kudapat. Kini waktu pengerjaannya 6 hari, tugasnya pun dua kali lipat dari yg kemarin. Pasti seminggu tidur malam lagi. Setelah kumpul angkatan, sholat isya' di mustek, aku pulang. Lagi, kuperhatikan langit. Tetap bersih. Kulihat bulan sabit, dia seakan tersenyum padaku. Harmoni, cahayanya tak menghalangiku melihat bintang yang bertebaran. Menentramkan.

Sabtu081011, hari ke3 mecex 2011. Sudah sore, mungkin sekitar jam 4. Di depan kantin Jtmi, aku dan teman-temanku duduk rapi per kelompok. Kami punya waktu 3 menit untuk menghabiskan roti pisang. Aku tahu jadwal setelah itu. Pasti evaluasi, sesi paling pahit di mecex. Sambil makan, kubayangkan bagaimana evaluasi itu. Lalu tak sengaja pandanganku beralih ke langit barat. Sebuah view yang mempesona, langit biru, sebagian sudah kemerahan, awan berjejer membentuk pola teratur. Paduan unsur yang saling melengkapi.

Di saat-saat seperti itu, aku merasa langit berbicara padaku. Seakan-akan dia mengatakan, "Jangan menyerah! Ayo, Lakukan yang terbaik! tersenyumlah! Ikhlaslah! Kamu pasti bisa An! Damaikan pikiranmu, tenangkan hatimu, lalu lakukan sebisamu!". Seperti itulah yang kubayangkan. Konyol mungkin, tapi itulah yang membuatku semangat. Memenuhi pikiranku dengan hal-hal positif.

Begitulah. Aku selalu berusaha mencari motivasi, inspirasi, ataupun penyemangat. Dan harus kukatakan, aku sering belajar dari langit.

_di masa-masa mecexku

Menyesal

Mungkin teman pernah tahu bahwa aku dulu ingin melanjutkan studi ke gontor setelah tamat sd. Tekadku cukup bulat waktu itu. Hanya saja ibuku kurang setuju dengannya. Buntutnya jelas. Sebandel apapun aku, kata-kata ortu tak mungkin kuabaikan begitu saja. Maka kuurungkan niatku. Lalu aku mendaftar di pawitikra. Tebak lah sendiri apa yang kudapat disana.

Pernah suatu kali temanku bercerita. Awalnya dia setengah hati masuk sma teladan. "hatiku tertinggal di sma lain," mungkin seperti itu kata-katanyanya. Meski begitu, hari demi hari tetap dia lalui. Tahun pertama terlewati, menyusul tahun kedua, hingga suatu saat dia bercerita lagi, "alhamdulillah. Beruntungnya aku bersekolah di teladan."

TONTI menjadi pilihanku di awal masa open recruitment organisasi yang ada di teladan. Entah apa alasanku. Bodohnya jika memilih tanpa alasan yang jelas. Tapi itulah aku, dulu. Perlu kuberitahu bahwa 3 bulan pertama di tonti diisi full dengan latihan. Tak tanggung-tanggung, 6 hari tiap minggu. Berpanas-panas disaat yang lain berteduh, berkeringat disaat yang lain bersantai, akhirnya membuatku ada pada titik jenuh. Sempat kusesali, walaupun terus kujalani. Sekarang semua itu kusyukuri, sebagai salah satu nikmat yang tak ada duanya, dengan rangkaian pengalaman yang tak terganti.

Di awal kelas dua, aku mendapat amanah sebagai koor acara hut. Lagi, aku tak tahu bagaimana aku bisa menerima amanah seberat itu. Aku merasa bahwa disana aku menjadi beban bagi teman-temanku di sie acara. Sepertinya kenyataannya pun memang begitu. Penyesalan, suara negatif kadang berkumandang di hatiku, hingga di akhir masa kepanitiaan aku sadar, banyak hal kudapatkan dari mereka. Aku tahu bahwa Allah memang memberiku kesempatan belajar dari mereka, sie acara. Saat rangkaian acara berakhir, aku bersyukur pernah menjadi bagian dari mereka.

Gvt2010, entah bagaimana aku bisa menjadi kopan ke4. Awalnya sih iya iya saja. Toh temannya banyak, pikirku. Di awal perjalanan, sempat kusesalkan suatu hal. Yang jelas aku merasa rugi menjadi kopan waktu itu. Waktu berputar. Ternyata disana aku bertemu dengan banyak orang hebat. Terlalu banyak ilmu yang ada disana. Bahkan silaturrahimnya sangat kokoh. Kini kukatakan, pansus adalah salah satu bagian yang paling kusyukuri di teladan.

Begitulah teman. Ada kalanya suatu pilihan membuat kita menyesal. Ada kalanya pikiran negatif menyertai kita pada pilihan itu. Tapi, selama pilihan itu baik, ayo hilangkan sesal, lenyapkan pikiran negatif, dan lakukan maksimal. Ikhlas. Maka suatu saat nanti sesal itu akan menjadi syukur.
Husnudzan, karena Allah adalah sebaik-baik sutradara.

~dibawah purnama dzulqa'dah~

Kaki Gunung

Asyik sepertinya jika jadi ibuku. Kala beliau bercerita, sering kubayangkan masa kecil beliau.. Tinggal di kaki gunung, dengan alam dan lingkungan yang asri, hawa dingin yg menusuk, sungguh sebuah sensasi bagiku. Belum lagi tentang orang-orang di kampung beliau yg rata-rata masih terikat hubungan saudara. Keadaan yang sudah pasti sangat langka, apalagi di kota besar seperti tempat tinggalku.

Tiga hal yg sebenarnya kudambakan dari pengalaman beliau. Pertama mengenai kesempatan bermain di alam bebas. Desa, kaki gunung seperti itu, pasti melimpah ruah alam asrinya. Bermain di sana pasti lumrah. Sementara masakecilku, hah, sawah saja jarang dapatnya. Hahaha.

Kedua tentang pendidikan. Tentu soal fasilitas era ku menang. Tapi bukan itu saja yang kucari. Akhir-akhir ini aku mendambakan kemandirian, salah satunya dalam bentuk menjadi anak kos. Dan sepertinya 4 tahun kedepan pun aku belum bisa merasakan itu. Tapi okelah, akan kucari kesempatan yang lebih baik kelak. Beliau berbeda, sma saja sudah nglaju padahal masih tahun 79. Kuliah? jangan ditanya. Jogja sudah menyambut beliau di umur yang masih hijau. Tak mudah, pasti ibu sering tertempa masalah. Tapi justru itulah pisau yang tajam terasah. Aku? Entah seperti apa.

Ketiga, yang paling kurindukan, lagi2 sebuah tali. Tali persaudaraan. Kuamati, tali persaudaraan ibuku sangat erat. Bahkan pada titik terjauh pun masih melekat erat. Menurutku ini karena sekampung sedarah, atau mungkin ada alasan lain. Yang jelas aku rindu. Memang banyak saudara kutemui, tapi disana lidahku kelu. Seakan bertemu orang asing. Maka aku selalu ingin melihat keakraban antara ibuku dgn saudara jauhnya pada diriku dgn saudara jauhku. Entah kapan itu terwujud.

010911 22.45
ngempon

Poin

Bukan menjadi kebiasaanku belajar. Seingatku sejak SD aku termasuk malas. Bahkan karena kemalasanku, aku baru bisa lancar membaca di kelas dua. Saat kelas satu, kemampuanku masih sebatas be oo bo-el aa la, bola. Ya, baru semacam itu. Tentu hanya kubaca di dalam hati. Aku malu dengan teman-temanku yang rata-rata sudah pandai membaca.

Ketika itu aku masih kelas empat SD. Dalam sebuah ujian tengah semester, aku ingat betul nilai matematikaku 30. Bagus, sangat bagus. Tentu ibuku bersuara. Entah apa yang beliau katakan dulu. Aku hanya ingat bahwa setelah nilai 30 itu ibuku membeli semacam LKS yang berisi soal-soal. Bukan main-main, buku itu cukup tebal. Dua ratusan halaman kuyakin ada. Hebatnya, aku yang dulu berhasil menyelesaikan soal-soal itu dalam waktu kurang dari satu bulan. Kalau aku yang sekarang sih sepertinya tak kan secepat itu. Maka, sejak nilai 30ku itu, sejak latihan soal-soal itu, nilaiku meningkat drastis.

Ibuku lah yang mendominasi dalam bidang pengawasan akademikku. Beliau sering bertanya tentang nilai, jadwal ulangan, jadwal ujian dan sebagainya. Beliau juga lah yang sangat ngotot memasukkanku ke salah satu bimbel bahasa inggris kala aku SMP. Bapakku berbeda. Hampir tak pernah beliau bertanya tentang ulangan, jadwal ujian, atau hal-hal yang berbau seperti itu. Bahkan, bila tak kuberitahu, mungkin beliau tak tahu saat aku sedang mid semester. Tapi bukan berarti beliau tak peduli. Temukan cara belajarmu. Itulah yang lebih Bapak ajarkan padaku. saat membicarakan tentang akademik, pesan itulah yang sangat sering beliau sampaikan. Ujung-ujungnya hanya pada dua kata, cara belajar. Tak sepenuhnya kumengerti sebenarnya. Apalagi saat aku SD. Senjataku hanya manthuk-manthuk.

Masa sadar akademikku mungkin SMP. Satu minggu ada enam hari, semua tahu itu. Hari ahad tak kuhitung, kan sekolah libur. Wkwk. Tiap hari dalam satu minggu itu beragam. Teman-temanku mengisinya dengan les renang, main, les komputer, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Nah, dalam kegiatan-kegiatan yang menuntut waktu lebih itu, bisa jadi tugas menumpuk. Kadang satu hari yang 24 jam itu terasa hanya 12 jam. Stres. Tapi aku tidak. Tugas untuk satu minggu kukerjakan di hari ahad. Aku yang saat itu agak rajin. Di masa-masa SMP itu pula lah aku menemukan seperti apa tipeku. Aku suka mendengarkan, dan untuk paham, aku harus menulis. Aku suka belajar dari tulisanku. Dan karena itulah, separah apapun situasi kelas, semelempem apapun moodku, kuusahakan catatanku lengkap. Mungkin bapakku menyebut temukan cara belajarmu, aku lebih suka mengatakan temukan tipemu.

Pegangan sudah kudapat. Aku tahu seperti apa aku. Masa SMA memang menuntut lebih banyak belajar mandiri, karena aku sering tidak fokus di kelas. Prinsipku aku harus menulis, urusan paham atau tidak, terserah. Tiga tahun di sana kuakui aku malas, aku hanya rajin di kelas. Belajar? Hanya beberapa minggu sebelum ujian. PR? H-1 baru nggarap. Tak serajin SMP. Tapi catatanku masih lengkap. Sedikit perbedaanku disini, aku sering mencari motivasi. Biasanya saat motivasi itu datang, belajarku tak terbendung. Tapi tentu itu jarang-jarang. Sekarang bisa kusimpulkan aku di SMA. Maksimalkan waktumu di kelas. Catat apapun yang dijelaskan guru. Sadar ujian lebih dulu dari yang lain.

Di kelas tiga, karena semua sudah dalam masa sadar ujian, aku harus mencari nilai tambah lain. Ternyata tak perlu kucari. Aku memang beruntung. Mungkin catatanku yang lengkap, mungkin dianggap rajin, jadi lah aku sering diajak belajar teman. Padahal tak jarang aku malas. Yah, mau apa lagi. Mau tak mau ya harus mau. Belajar kelompok akhirnya jadi senjataku. Belajar, aktivitas yang kuberi label nomer satu di kolom kemalasan, kujalani rutin. Tentu dengan bantuan teman. Di sisi lain aku masih sering mencari motivasi. Maka aku mendapat satu poin penting lagi. Temukan lingkungan yang mendukung, karena di sana lah akan kau temukan mutiara, dalam bentuk apapun itu.

Kini aku menapaki masa perkuliahanku. Masih canggung. Masih mencari gaya baru. Usahaku sebatas memegang erat apa yang kudapat sejak SD, berharap akan berhasil kugunakan di masa kuliah. Sambil menanti poin lain yang mungkin kudapat, sepertinya itu cukup.

23102011 22.31