Bukan menjadi
kebiasaanku belajar. Seingatku sejak SD aku termasuk malas. Bahkan
karena kemalasanku, aku baru bisa lancar membaca di kelas dua. Saat
kelas satu, kemampuanku masih sebatas be oo bo-el aa la, bola. Ya, baru
semacam itu. Tentu hanya kubaca di dalam hati. Aku malu dengan
teman-temanku yang rata-rata sudah pandai membaca.
Ketika itu aku masih kelas empat SD. Dalam sebuah ujian tengah semester, aku ingat betul nilai matematikaku 30. Bagus, sangat bagus. Tentu ibuku bersuara. Entah apa yang beliau katakan dulu. Aku hanya ingat bahwa setelah nilai 30 itu ibuku membeli semacam LKS yang berisi soal-soal. Bukan main-main, buku itu cukup tebal. Dua ratusan halaman kuyakin ada. Hebatnya, aku yang dulu berhasil menyelesaikan soal-soal itu dalam waktu kurang dari satu bulan. Kalau aku yang sekarang sih sepertinya tak kan secepat itu. Maka, sejak nilai 30ku itu, sejak latihan soal-soal itu, nilaiku meningkat drastis.
Ibuku lah yang mendominasi dalam bidang pengawasan akademikku. Beliau sering bertanya tentang nilai, jadwal ulangan, jadwal ujian dan sebagainya. Beliau juga lah yang sangat ngotot memasukkanku ke salah satu bimbel bahasa inggris kala aku SMP. Bapakku berbeda. Hampir tak pernah beliau bertanya tentang ulangan, jadwal ujian, atau hal-hal yang berbau seperti itu. Bahkan, bila tak kuberitahu, mungkin beliau tak tahu saat aku sedang mid semester. Tapi bukan berarti beliau tak peduli. Temukan cara belajarmu. Itulah yang lebih Bapak ajarkan padaku. saat membicarakan tentang akademik, pesan itulah yang sangat sering beliau sampaikan. Ujung-ujungnya hanya pada dua kata, cara belajar. Tak sepenuhnya kumengerti sebenarnya. Apalagi saat aku SD. Senjataku hanya manthuk-manthuk.
Masa sadar akademikku mungkin SMP. Satu minggu ada enam hari, semua tahu itu. Hari ahad tak kuhitung, kan sekolah libur. Wkwk. Tiap hari dalam satu minggu itu beragam. Teman-temanku mengisinya dengan les renang, main, les komputer, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Nah, dalam kegiatan-kegiatan yang menuntut waktu lebih itu, bisa jadi tugas menumpuk. Kadang satu hari yang 24 jam itu terasa hanya 12 jam. Stres. Tapi aku tidak. Tugas untuk satu minggu kukerjakan di hari ahad. Aku yang saat itu agak rajin. Di masa-masa SMP itu pula lah aku menemukan seperti apa tipeku. Aku suka mendengarkan, dan untuk paham, aku harus menulis. Aku suka belajar dari tulisanku. Dan karena itulah, separah apapun situasi kelas, semelempem apapun moodku, kuusahakan catatanku lengkap. Mungkin bapakku menyebut temukan cara belajarmu, aku lebih suka mengatakan temukan tipemu.
Pegangan sudah kudapat. Aku tahu seperti apa aku. Masa SMA memang menuntut lebih banyak belajar mandiri, karena aku sering tidak fokus di kelas. Prinsipku aku harus menulis, urusan paham atau tidak, terserah. Tiga tahun di sana kuakui aku malas, aku hanya rajin di kelas. Belajar? Hanya beberapa minggu sebelum ujian. PR? H-1 baru nggarap. Tak serajin SMP. Tapi catatanku masih lengkap. Sedikit perbedaanku disini, aku sering mencari motivasi. Biasanya saat motivasi itu datang, belajarku tak terbendung. Tapi tentu itu jarang-jarang. Sekarang bisa kusimpulkan aku di SMA. Maksimalkan waktumu di kelas. Catat apapun yang dijelaskan guru. Sadar ujian lebih dulu dari yang lain.
Di kelas tiga, karena semua sudah dalam masa sadar ujian, aku harus mencari nilai tambah lain. Ternyata tak perlu kucari. Aku memang beruntung. Mungkin catatanku yang lengkap, mungkin dianggap rajin, jadi lah aku sering diajak belajar teman. Padahal tak jarang aku malas. Yah, mau apa lagi. Mau tak mau ya harus mau. Belajar kelompok akhirnya jadi senjataku. Belajar, aktivitas yang kuberi label nomer satu di kolom kemalasan, kujalani rutin. Tentu dengan bantuan teman. Di sisi lain aku masih sering mencari motivasi. Maka aku mendapat satu poin penting lagi. Temukan lingkungan yang mendukung, karena di sana lah akan kau temukan mutiara, dalam bentuk apapun itu.
Kini aku menapaki masa perkuliahanku. Masih canggung. Masih mencari gaya baru. Usahaku sebatas memegang erat apa yang kudapat sejak SD, berharap akan berhasil kugunakan di masa kuliah. Sambil menanti poin lain yang mungkin kudapat, sepertinya itu cukup.
23102011 22.31
Ketika itu aku masih kelas empat SD. Dalam sebuah ujian tengah semester, aku ingat betul nilai matematikaku 30. Bagus, sangat bagus. Tentu ibuku bersuara. Entah apa yang beliau katakan dulu. Aku hanya ingat bahwa setelah nilai 30 itu ibuku membeli semacam LKS yang berisi soal-soal. Bukan main-main, buku itu cukup tebal. Dua ratusan halaman kuyakin ada. Hebatnya, aku yang dulu berhasil menyelesaikan soal-soal itu dalam waktu kurang dari satu bulan. Kalau aku yang sekarang sih sepertinya tak kan secepat itu. Maka, sejak nilai 30ku itu, sejak latihan soal-soal itu, nilaiku meningkat drastis.
Ibuku lah yang mendominasi dalam bidang pengawasan akademikku. Beliau sering bertanya tentang nilai, jadwal ulangan, jadwal ujian dan sebagainya. Beliau juga lah yang sangat ngotot memasukkanku ke salah satu bimbel bahasa inggris kala aku SMP. Bapakku berbeda. Hampir tak pernah beliau bertanya tentang ulangan, jadwal ujian, atau hal-hal yang berbau seperti itu. Bahkan, bila tak kuberitahu, mungkin beliau tak tahu saat aku sedang mid semester. Tapi bukan berarti beliau tak peduli. Temukan cara belajarmu. Itulah yang lebih Bapak ajarkan padaku. saat membicarakan tentang akademik, pesan itulah yang sangat sering beliau sampaikan. Ujung-ujungnya hanya pada dua kata, cara belajar. Tak sepenuhnya kumengerti sebenarnya. Apalagi saat aku SD. Senjataku hanya manthuk-manthuk.
Masa sadar akademikku mungkin SMP. Satu minggu ada enam hari, semua tahu itu. Hari ahad tak kuhitung, kan sekolah libur. Wkwk. Tiap hari dalam satu minggu itu beragam. Teman-temanku mengisinya dengan les renang, main, les komputer, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Nah, dalam kegiatan-kegiatan yang menuntut waktu lebih itu, bisa jadi tugas menumpuk. Kadang satu hari yang 24 jam itu terasa hanya 12 jam. Stres. Tapi aku tidak. Tugas untuk satu minggu kukerjakan di hari ahad. Aku yang saat itu agak rajin. Di masa-masa SMP itu pula lah aku menemukan seperti apa tipeku. Aku suka mendengarkan, dan untuk paham, aku harus menulis. Aku suka belajar dari tulisanku. Dan karena itulah, separah apapun situasi kelas, semelempem apapun moodku, kuusahakan catatanku lengkap. Mungkin bapakku menyebut temukan cara belajarmu, aku lebih suka mengatakan temukan tipemu.
Pegangan sudah kudapat. Aku tahu seperti apa aku. Masa SMA memang menuntut lebih banyak belajar mandiri, karena aku sering tidak fokus di kelas. Prinsipku aku harus menulis, urusan paham atau tidak, terserah. Tiga tahun di sana kuakui aku malas, aku hanya rajin di kelas. Belajar? Hanya beberapa minggu sebelum ujian. PR? H-1 baru nggarap. Tak serajin SMP. Tapi catatanku masih lengkap. Sedikit perbedaanku disini, aku sering mencari motivasi. Biasanya saat motivasi itu datang, belajarku tak terbendung. Tapi tentu itu jarang-jarang. Sekarang bisa kusimpulkan aku di SMA. Maksimalkan waktumu di kelas. Catat apapun yang dijelaskan guru. Sadar ujian lebih dulu dari yang lain.
Di kelas tiga, karena semua sudah dalam masa sadar ujian, aku harus mencari nilai tambah lain. Ternyata tak perlu kucari. Aku memang beruntung. Mungkin catatanku yang lengkap, mungkin dianggap rajin, jadi lah aku sering diajak belajar teman. Padahal tak jarang aku malas. Yah, mau apa lagi. Mau tak mau ya harus mau. Belajar kelompok akhirnya jadi senjataku. Belajar, aktivitas yang kuberi label nomer satu di kolom kemalasan, kujalani rutin. Tentu dengan bantuan teman. Di sisi lain aku masih sering mencari motivasi. Maka aku mendapat satu poin penting lagi. Temukan lingkungan yang mendukung, karena di sana lah akan kau temukan mutiara, dalam bentuk apapun itu.
Kini aku menapaki masa perkuliahanku. Masih canggung. Masih mencari gaya baru. Usahaku sebatas memegang erat apa yang kudapat sejak SD, berharap akan berhasil kugunakan di masa kuliah. Sambil menanti poin lain yang mungkin kudapat, sepertinya itu cukup.
23102011 22.31

Tidak ada komentar:
Posting Komentar