Bola itu bundar.
berawal dari ingin punya, bukan pinjam, dulu.
kini, enam bulan kemudian,
ia bergulir lagi,
kesana kemari di lapangan biru,
melepas rindu di setiap operan,
menghilangkan kelu saat ada tendangan,
memberi senyum pada tiap tangkapan.
Bola itu bundar,
catnya saja sudah pudar.
Dulu ia bermacam warna, sekarang sewarna saja.
Seperti kami,
kami memang beragam, tapi waktu menjadikan kami satu,
ya, satu yang padu.
Bola itu bundar
Ia hanya sekedar bola,
tapi masih kubawa, kujaga,
hanya untuk menghormati kalian, angkatan keren tak terkira.
~ditemani kelap-kelip panah, 241211~
Senin, 26 Desember 2011
Jumat, 23 Desember 2011
Purnama
Mengapa bulan jauh lebih besar pada saat muncul dan terbenam, dibanding ukurannya ketika sedang di puncak langit?
Praktis hampir semua orang pernah menyaksikan keganjilan ini entah kapan. Ketika bulan sedang rendah, dekat cakrawala, ia tampak besar dibanding penampilannya beberapa jam kemudian ketika posisinya berada di atas kepala. Efek ini terlihat lebih jelas lagi saat bulan sedang purnama, begitulah setidaknya kata mbah wolke.
Pasti sudah sering kan melihat situasi ini? Orang sudah penasaran sejak jaman tidak enak dulu. Beberapa mengajukan teori, yang kata Mbah Wolke tidak masuk akal. Katanya, "Jika ini semata-mata masalah fisika, tentu orang sudah akan mengetahui penjelasannya secara pasti sekarang." Nyatanya? simpang siur. Simbah melanjutkan argumennya, "ini hanya masalah persepsi manusia." Kawan, jika kita membicarakan yang sudah terbukti, itu tentu tentang bulan yang tidak pernah berubah ukuran. Ia takkan membesar, mengecil lalu membesar lagi seenaknya. Ia adalah satelit yang mengorbit bumi, dan tidak berubah ukuran bahkan ketika berada di cakrawala sekalipun.
Maka ayo kita bahas tentang teori-teori yang ada. Tapi sebelumnya mari mengamati. Tunggu bulan purnama datang (sebenernya nggak harus purnama sih, tapi bakal lebih asik nek pas fullmoon). Nah, amati bulan saat ada di cakrawala. Kalau perlu cari tempat tinggi dimana horizon bisa terlihat. Lalu keluarkan penggaris, julurkan sepanjang lengan terulur, pegang tegak lurus. Ukurlah diameter bulan saat itu. Kata simbah sih mungkin itu sekitar 12 milimeter, aku sih belum mencoba, hehe. Selanjutnya tunggu sampai bulan berada di atasmu, tampak lebih kecil daripada saat di cakrawala bukan? Tapi ukurlah lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Bukankah hasil pengukurannya sama? Contoh simpel lain bisa didapat dengan foto. Biasanya orang berkata, "Sumpah, bulan yang kulihat lebih besar dari yang ada di foto ini!" Malu lah. Masa' mata kalah dengan kamera.
Sekarang ke teori. "Ketika bulan berada di posisi rendah, kita membandingkannya dengan bangunan, pepohonan, dll. Maka ia terlihat besar" kata paijo. Tapi bahkan ketika kita melihat bulan di cakrawala, anggaplah laut yang tanpa pembanding apapun disana, bulan masih terlihat besar. Sepertinya kamu salah Jo. "Udara semakin bawah semakin banyak. Ketika kita melihat bulan di cakrawala, kita melihat melalui udara yang lebih banyak daripada saat melihat ke atas" sahut Panjul. Sori Njul, udara memang mendistorsi, tapi takkan mengubah ukuran. "Melihat cakrawala berarti melihat lurus (normal), sedangkan melihat atas membuat mata kita agak menyipit. Itu membuat..." bla bla bla.
"Omong kosong," kata Mbah Wolke.
Baiklah mbah, mari ke teorimu. Sekali lagi kuulangi kata-kata mbah wolke,"Jika ini masalah fisika, tentu buyut-buyutmu sudah tahu dari dulu. Tapi bukan fisika, ini tentang persepsi." Psikolog yang mempelajari persepsi manusia punya teori yang cukup meyakinkan.
Teori pertama begini. Sejak kita masih imut-imut pun kita sudah memahami bahwa benda yang mendekati kita itu akan tampak semakin besar. Disini kutulis persis saja ya, aku kurang begitu paham. Bayangkan pesawat yang mendekat, atau bola yang ditendang mendekati kita. Mereka akan terlihat semakin besar. Tetapi bulan tampaknya melanggar semua aturan itu; saat bulan bergerak di atas kita bulan tidak menjadi semakin dekat dan karena itu tidak menjadi lebih besar. Maka otak menafsirkannya sebagai sangat "kecil", dan itulah kesimpulan yang kita tarik. Jadi bukan bulan di horizon yang terlihat besar, tapi bulan yang di atas lah yang terlihat kecil.
Teori kedua bermula dari keterbatasan manusia. Karena tidak mampu menangkap gagasan soal ketidakterbatasan, maka tanpa pikir panjang manusia membayangkan langit punya batas. Kita masih menyimpan kesan bahwa langit itu berbentuk kubah. Selanjutnya kutulis persis saja, aku tidak terlalu paham juga. Kita mungkin merasakan bahwa tepi kubah yang menyentuh cakrawala terletak lebih jauh daripada titik di puncak kubah yang sama. Kita menganggap langit sebagai kubah yang agak dangkal hanya karena lebih nyaman demikian. Mengapa? Pengalaman kita selalu memberitahukan bahwa cakrawala jauh sekali, tapi tidak ada petunjuk atau pertanda apapun yang menyatakan bahwa puncak langit juga jauh sekali. Jadi, ketika bulan dekat cakrawala, kita secara tidak sadar mengasumsikan bahwa batas langit di sana lebih jauh daripada ketika bulan berada di atas kepala. Pengalaman visual mengatakan, makin jauh berarti makin kecil. Maka meski rembulan tidak menggubris harapan kita dengan tetap berukuran seperti biasanya kendati sedang berada di cakrawala yang "sangat jauh", otak kita mengatakan, "Wow!Makhluk di sana pastilah besar sekali." Maka itulah kesan yang kita dapatkan. "Penjelasan terakhir lebih masuk akal" kata mbah Wolke.
Aku sih tidak paham, haha.
What Einstein Told His Barber--161--
Praktis hampir semua orang pernah menyaksikan keganjilan ini entah kapan. Ketika bulan sedang rendah, dekat cakrawala, ia tampak besar dibanding penampilannya beberapa jam kemudian ketika posisinya berada di atas kepala. Efek ini terlihat lebih jelas lagi saat bulan sedang purnama, begitulah setidaknya kata mbah wolke.
Pasti sudah sering kan melihat situasi ini? Orang sudah penasaran sejak jaman tidak enak dulu. Beberapa mengajukan teori, yang kata Mbah Wolke tidak masuk akal. Katanya, "Jika ini semata-mata masalah fisika, tentu orang sudah akan mengetahui penjelasannya secara pasti sekarang." Nyatanya? simpang siur. Simbah melanjutkan argumennya, "ini hanya masalah persepsi manusia." Kawan, jika kita membicarakan yang sudah terbukti, itu tentu tentang bulan yang tidak pernah berubah ukuran. Ia takkan membesar, mengecil lalu membesar lagi seenaknya. Ia adalah satelit yang mengorbit bumi, dan tidak berubah ukuran bahkan ketika berada di cakrawala sekalipun.
Maka ayo kita bahas tentang teori-teori yang ada. Tapi sebelumnya mari mengamati. Tunggu bulan purnama datang (sebenernya nggak harus purnama sih, tapi bakal lebih asik nek pas fullmoon). Nah, amati bulan saat ada di cakrawala. Kalau perlu cari tempat tinggi dimana horizon bisa terlihat. Lalu keluarkan penggaris, julurkan sepanjang lengan terulur, pegang tegak lurus. Ukurlah diameter bulan saat itu. Kata simbah sih mungkin itu sekitar 12 milimeter, aku sih belum mencoba, hehe. Selanjutnya tunggu sampai bulan berada di atasmu, tampak lebih kecil daripada saat di cakrawala bukan? Tapi ukurlah lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Bukankah hasil pengukurannya sama? Contoh simpel lain bisa didapat dengan foto. Biasanya orang berkata, "Sumpah, bulan yang kulihat lebih besar dari yang ada di foto ini!" Malu lah. Masa' mata kalah dengan kamera.
Sekarang ke teori. "Ketika bulan berada di posisi rendah, kita membandingkannya dengan bangunan, pepohonan, dll. Maka ia terlihat besar" kata paijo. Tapi bahkan ketika kita melihat bulan di cakrawala, anggaplah laut yang tanpa pembanding apapun disana, bulan masih terlihat besar. Sepertinya kamu salah Jo. "Udara semakin bawah semakin banyak. Ketika kita melihat bulan di cakrawala, kita melihat melalui udara yang lebih banyak daripada saat melihat ke atas" sahut Panjul. Sori Njul, udara memang mendistorsi, tapi takkan mengubah ukuran. "Melihat cakrawala berarti melihat lurus (normal), sedangkan melihat atas membuat mata kita agak menyipit. Itu membuat..." bla bla bla.
"Omong kosong," kata Mbah Wolke.
Baiklah mbah, mari ke teorimu. Sekali lagi kuulangi kata-kata mbah wolke,"Jika ini masalah fisika, tentu buyut-buyutmu sudah tahu dari dulu. Tapi bukan fisika, ini tentang persepsi." Psikolog yang mempelajari persepsi manusia punya teori yang cukup meyakinkan.
Teori pertama begini. Sejak kita masih imut-imut pun kita sudah memahami bahwa benda yang mendekati kita itu akan tampak semakin besar. Disini kutulis persis saja ya, aku kurang begitu paham. Bayangkan pesawat yang mendekat, atau bola yang ditendang mendekati kita. Mereka akan terlihat semakin besar. Tetapi bulan tampaknya melanggar semua aturan itu; saat bulan bergerak di atas kita bulan tidak menjadi semakin dekat dan karena itu tidak menjadi lebih besar. Maka otak menafsirkannya sebagai sangat "kecil", dan itulah kesimpulan yang kita tarik. Jadi bukan bulan di horizon yang terlihat besar, tapi bulan yang di atas lah yang terlihat kecil.
Teori kedua bermula dari keterbatasan manusia. Karena tidak mampu menangkap gagasan soal ketidakterbatasan, maka tanpa pikir panjang manusia membayangkan langit punya batas. Kita masih menyimpan kesan bahwa langit itu berbentuk kubah. Selanjutnya kutulis persis saja, aku tidak terlalu paham juga. Kita mungkin merasakan bahwa tepi kubah yang menyentuh cakrawala terletak lebih jauh daripada titik di puncak kubah yang sama. Kita menganggap langit sebagai kubah yang agak dangkal hanya karena lebih nyaman demikian. Mengapa? Pengalaman kita selalu memberitahukan bahwa cakrawala jauh sekali, tapi tidak ada petunjuk atau pertanda apapun yang menyatakan bahwa puncak langit juga jauh sekali. Jadi, ketika bulan dekat cakrawala, kita secara tidak sadar mengasumsikan bahwa batas langit di sana lebih jauh daripada ketika bulan berada di atas kepala. Pengalaman visual mengatakan, makin jauh berarti makin kecil. Maka meski rembulan tidak menggubris harapan kita dengan tetap berukuran seperti biasanya kendati sedang berada di cakrawala yang "sangat jauh", otak kita mengatakan, "Wow!Makhluk di sana pastilah besar sekali." Maka itulah kesan yang kita dapatkan. "Penjelasan terakhir lebih masuk akal" kata mbah Wolke.
Aku sih tidak paham, haha.
What Einstein Told His Barber--161--
Jurang
Hari ini, sabtu 10 desember 2011, semaranglah tujuanku. Asyik juga bisa
jalan-jalan di sela-sela waktu kuliah. Sebenarnya aku hanya menemani
Mbahku yang sudah di jogja seminggu. Beliau sekarang balik ke semarang,
ke tempat lekku. Karena bapak ibuku sibuk, maka akulah yang akhirnya
menemani Mbahku pulang. Dan disinilah aku sekarang, duduk bersama Mbah
di kursi paling belakang travel jogja-semarang. Cukup nyaman. Bagaimana
tidak, travel yang muat untuk 8 orang ini hanya terisi 4 orang termasuk
kami. Sungguh beruntung.
Mungkin itu sekitar jam 12.30 ketika aku sedang semangat mencari rumah salah satu teman SMAku. Pringsurat rumahnya, disekitar jalan yang baru kulalui. Kuamati tiap rumah yang kulalui, berharap ada tanda-tanda. Sebenarnya sih sia-sia saja, toh yang kutahu hanya bahwa rumahnya di pringsurat. Padahal pringsurat itu kecamatan (sepertinya). "Haha, sudahlah" pikirku. Aku kembali beristirahat.
"Jalan raya ambarawa-magelang", sebuah plang restoran memberitahu keberadaanku. Perkampungan di sisi jalan lenyap, kini berganti jurang dan pepohonan. Asyik memandangnya, sekilas kulihat ada rumah makan kecil di kanan jalan. Ia rasanya tak asing bagiku. Kubuka lembaran buku masalaluku. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengingatnya. Ah, tentusaja, itu rumah makan yang pernah menyambutku saat aku kelas 4 sd. Saat itu aku bersama beberapa temanku dan ustadzku pergi ke Kudus. Kami mewakili Sdit Luqman Al-Hakim dalam olimpiade JSIT seDIY-Jateng-Jatim kalau tidak salah. Kebetulan aku waktu itu menjadi wakil di bidang matematika. Sayang aku gagal merebut juara. Tentang rumah makan tadi, ia kami singgahi saat perjalanan pulang. Sudah gelap waktu itu. Aku ingat saat temanku muntah ketika ia diberitahu bahwa yang dimakannya adalah jengkol. Padahal sebelumnya ia baik-baik saja. Lucu juga, haha.
Begitulah, beruntung bagi kita jika kenangan manis kita tersebar dimana-mana. Tak salah jika imam Syafi'i menyuruh kita merantau. Maka merantaulah An!
~sambil makan dorayaki di travel, 101211~
btw aku suka dorayaki. Enak ternyata.
Mungkin itu sekitar jam 12.30 ketika aku sedang semangat mencari rumah salah satu teman SMAku. Pringsurat rumahnya, disekitar jalan yang baru kulalui. Kuamati tiap rumah yang kulalui, berharap ada tanda-tanda. Sebenarnya sih sia-sia saja, toh yang kutahu hanya bahwa rumahnya di pringsurat. Padahal pringsurat itu kecamatan (sepertinya). "Haha, sudahlah" pikirku. Aku kembali beristirahat.
"Jalan raya ambarawa-magelang", sebuah plang restoran memberitahu keberadaanku. Perkampungan di sisi jalan lenyap, kini berganti jurang dan pepohonan. Asyik memandangnya, sekilas kulihat ada rumah makan kecil di kanan jalan. Ia rasanya tak asing bagiku. Kubuka lembaran buku masalaluku. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengingatnya. Ah, tentusaja, itu rumah makan yang pernah menyambutku saat aku kelas 4 sd. Saat itu aku bersama beberapa temanku dan ustadzku pergi ke Kudus. Kami mewakili Sdit Luqman Al-Hakim dalam olimpiade JSIT seDIY-Jateng-Jatim kalau tidak salah. Kebetulan aku waktu itu menjadi wakil di bidang matematika. Sayang aku gagal merebut juara. Tentang rumah makan tadi, ia kami singgahi saat perjalanan pulang. Sudah gelap waktu itu. Aku ingat saat temanku muntah ketika ia diberitahu bahwa yang dimakannya adalah jengkol. Padahal sebelumnya ia baik-baik saja. Lucu juga, haha.
Begitulah, beruntung bagi kita jika kenangan manis kita tersebar dimana-mana. Tak salah jika imam Syafi'i menyuruh kita merantau. Maka merantaulah An!
~sambil makan dorayaki di travel, 101211~
btw aku suka dorayaki. Enak ternyata.
Kelap kelip... Planet di Langit?
Mengapa bintang berkelap-kelip?
Jawaban yg kita peroleh
dimana-mana adalah kelap-kelip itu disebabkan turbulensi di atmosfer,
proses yg mendistorsi cahaya bintang. Tapi jawaban itu tak menjelaskan
mengapa, bahkan tak menjawab pertanyaan sederhana mengapa hanya bintang
yang berkelap kelip, sedangkan planet-planet atau lampu pesawat terbang
tidak.
Turbulensi udara tidak menimbulkan pengaruh apapun pada gelombang cahaya. Yang mendistorsi gelombang cahaya adalah perbedaan temperatur. Mungkin ada teori tentang refraksi cahaya ketika memasuki medium transparan, layaknya kinerja sepasang plastik/kaca transparan didepan mata sebagian dari kita. Sayangnya refraksi cahaya karena udara lebih sedikit dari kaca. Teori itu saja kurang. Maka sekali lagi jawaban kembali ke tmpratur.
Udara hangat mmbelokkan cahaya lebih sedikit daripada udara sejuk. Walaupun atom-atom dlm udara hangat atau udara sejuk sama saja, di udara hangat kerapatan mereka lebih rendah. Maka mereka kurang kompak membelokkan cahaya. Sekarang, bintang manapun (kcuali mthr) terletak begitu jauh sehingga kita hanya melihatnya sebagai titik tunggal yg sempurna di langit, titik geometris tanpa ukuran sama sekali, bahkan ketika diamati menggunakan teleskop paling kuat. Seakan sang bintang hanya mengirim satu berkas tunggal cahaya kpd kita. Ktika berkas cahaya itu sampai mata melalui atmosfer, berkas itu meliuk dan terhamburkan ketika melewati udara dgn beragam temperatur dan kekuatan pembelokan. Tiap kali cahaya terhamburkan, utk sekejap seolah bintang menghilang dr pandangan. Saat berkas yg sama terpencar lagi ke mata kita, ia tampak lagi.
Itulah kelapkelip bintang.
Untuk objek tampak besar seperti matahari atau bulan, penghamburan tsb tidak berpengaruh. Berkas yg terbelokkan ke mata sama bnyk dgn berkas yg terbelokkan menjauhi mata, maka citra yg tertangkap terlihat ajeg.
Planet tampak seperti bintang, pdhl bukan. Binocular pun melihat mrka sbgai piringan. Tak berkelap-kelipnya planet pun sama. Slain itu, twinkle twinkle little planet rasanya kurg bersajak.
Jawaban yg kita peroleh
dimana-mana adalah kelap-kelip itu disebabkan turbulensi di atmosfer,
proses yg mendistorsi cahaya bintang. Tapi jawaban itu tak menjelaskan
mengapa, bahkan tak menjawab pertanyaan sederhana mengapa hanya bintang
yang berkelap kelip, sedangkan planet-planet atau lampu pesawat terbang
tidak.Turbulensi udara tidak menimbulkan pengaruh apapun pada gelombang cahaya. Yang mendistorsi gelombang cahaya adalah perbedaan temperatur. Mungkin ada teori tentang refraksi cahaya ketika memasuki medium transparan, layaknya kinerja sepasang plastik/kaca transparan didepan mata sebagian dari kita. Sayangnya refraksi cahaya karena udara lebih sedikit dari kaca. Teori itu saja kurang. Maka sekali lagi jawaban kembali ke tmpratur.
Udara hangat mmbelokkan cahaya lebih sedikit daripada udara sejuk. Walaupun atom-atom dlm udara hangat atau udara sejuk sama saja, di udara hangat kerapatan mereka lebih rendah. Maka mereka kurang kompak membelokkan cahaya. Sekarang, bintang manapun (kcuali mthr) terletak begitu jauh sehingga kita hanya melihatnya sebagai titik tunggal yg sempurna di langit, titik geometris tanpa ukuran sama sekali, bahkan ketika diamati menggunakan teleskop paling kuat. Seakan sang bintang hanya mengirim satu berkas tunggal cahaya kpd kita. Ktika berkas cahaya itu sampai mata melalui atmosfer, berkas itu meliuk dan terhamburkan ketika melewati udara dgn beragam temperatur dan kekuatan pembelokan. Tiap kali cahaya terhamburkan, utk sekejap seolah bintang menghilang dr pandangan. Saat berkas yg sama terpencar lagi ke mata kita, ia tampak lagi.
Itulah kelapkelip bintang.
Untuk objek tampak besar seperti matahari atau bulan, penghamburan tsb tidak berpengaruh. Berkas yg terbelokkan ke mata sama bnyk dgn berkas yg terbelokkan menjauhi mata, maka citra yg tertangkap terlihat ajeg.
Planet tampak seperti bintang, pdhl bukan. Binocular pun melihat mrka sbgai piringan. Tak berkelap-kelipnya planet pun sama. Slain itu, twinkle twinkle little planet rasanya kurg bersajak.
Langganan:
Komentar (Atom)


