Kamis, 26 Januari 2012

Bangun!

Bagaimana cara membangunkan orang? Itu menjadi sebuah pertanyaan yang menjadi tantangan bagi mereka yang punya teman/anggota keluarga yang sulit bangun dari tidur. Nah, ini nih beberapa cara membangunkan orang.

1. Panggil namanya beberapa kali. Itu cara tersimpel, dan kurasa hanya akan efektif bagi mereka yang mudah bangun.

2. Bangunkan dengan tangan, goyangkan tubuh orang yang sedang tidur itu. Mayoritas orang sih bangun nek dibeginikan.

3. Sediakan air satu ciduk. Celupkan tanganmu ke air, lalu usapkan ke wajah orang yang tidur itu. Ia pasti bangun. Jika masih tidur lagi, berarti ia memang sedang mengantuk sekali, atau memang malas bangun. Tapi setidaknya ia sudah sadar, hanya matanya saja yang masih terpejam.

4. Ambil makanan, nek bisa yang enak dan beraroma. Dekatkan makanan ke temanmu yang sedang tidur. Jika beruntung, sepertiku misalnya, maka temanmu akan bangun. Dulu aku pernah melakukan ini untuk membangunkan temanku, waktu itu sih makanan yang kuambil hanya telo+sambel abc. Dan ternyata dia bangun, haha. Ini juga tergantung orang yang tidur sih, tapi coba saja.

5. Ancam dia, terutama jika kamu adalah orang yang berkuasa baginya. Tapi kamu harus membuatnya sadar terlebih dahulu, setidaknya barusaja membuka mata lah. Nah, Misalnya aku ingin membangunkan adikku, padahal adikku itu tiap hari pinjam leptopku untuk main game, dan itu adalah hobinya. Lalu aku berkata agak keras di sampingnya, "Wah, nek gini ni besok nggak usah pinjem leptop aja." Dan tiba-tiba bangun deh dia.

6. Nyalakan lampu. Kalau perlu ambil lampu yang biasa digunakan saat mati listrik, lalu nyalakan di depan wajahnya. Tapi jangan dekat-dekat.

Tentu masih banyak cara lainnya. Tapi enam dulu lah, tugas menggambar teknik masih menanti^_^

::hanya curhat tentang masalahku sendiri,080112::

Jalan

Dua jembatan tua itu.. jika aku bukan aku, pastilah ku takkan merasa berbeda. Tapi aku adalah aku, maka kurasakan ikatan itu. Apa lah yang spesial dari jembatan, ia hanya rangkaian baja, yang padanya saling meniadakan gaya. Tapi bukan tentang gaya, hanya saja jembatan itu memanjang di selopamioro. Bukan sebuah struktur bagiku, ia hanya mengarahkanku ke kalidadap, lembaran tempat keren di selatan..

Persepsi

menikmati jahe hangat di sela sela penat..

rehat yang nikmat di malam yang pekat..

Hujan, ujian, ya, Inilah sensasi kehidupan..

Lihatlah kawan, bahkan material teknik pun takkan bisa menghilangkan semangatku:)

~sejenak lepas dari engineering~

Sungai Artifisial

Ada yang unik di indrayanti. Pantainya hanya selebar 400meteran, diapit oleh dua tebing. Januari 19, pantai pasang. Aku yang datang kloter terakhir (tersesat) tanpa basa-basi langsung menuju pantai, menghampiri teman-temanku yang mayoritas sudah di sana satu jam.

Memang tak berniat untuk basah, aku hanya sekedar beradu kaki dengan ombak. Itu pun hanya sebentar, selebihnya waktuku yang hanya 1 jam kuluangkan untuk bermain voli dan menikmati sunset sore itu. Agak bosan, aku mendekati tebing timur. Beberapa temanku sedang asyik di sekitar sungai kecil. Ah, tak bisa kusebut sungai karena tak alami. Kusebut got pun tak pas karena terlalu bersih. Lebarnya tak sampai 60 senti, turun dari kebun, mengalir 3 meter di pasir putih, lalu membaur ke laut. Sore itu airnya terlihat bersih. Aku penasaran, tawarkah airnya? Maka kudekati aliran air yang hanya sedalam belasan senti di pasir pantai itu. Kuambil seteguk, kurasakan. Asin, maka kubuang tanpa kutelan. Tampaknya ia sudah bercampur dengan air laut, walau garis pantai masih beberapa meter lagi. Atau mungkin pasir pantai lah yang menyebabkan asin. Entah, tapi setidaknya penasaranku hilang.

Pagi di pantai juga tak boleh kulewatkan. Kali ini tebing kunaiki. Tak terlalu sulit, sudah ada jalan meski cukup terjal. Puas melihat cakrawala dari atas, aku kembali turun. Sungai buatan yang kemarin kuminum airnya letaknya dekat dengan tebing. Maka kumanfaatkan untuk mencuci kaki. Detik itu aku kaget. "Lho, kok airnya kayak ada minyaknya ya?" tanyaku pada temanku. "Wajarlah, itu kan air limbah, temanku menyahut." Kulihat jalur sungai buatan itu, tampaknya memang dari warung-warung dan WC yang ada di sana. Sejak saat itu, meningat sungai palsu selalu membuatku ingin muntah.

Kamis, 12 Januari 2012

Dewa Ruci


"Japan?"
Banyak di antara mereka di sini yang menyangka bahwa kami yang berperawakan sedang dan sipit ini berasal dari Negeri Matahari terbit. Dan kami hanya menggelengkan kepala, bahkan timbul perasaan ingin mencobai mereka. "Ayo coba terka!"
"Kina?" tanyanya. Nah, mereka menyebut cina dengan kina. Dan tentu saja terkaan mereka tidak jauh meleset karena yang bermata sipit itu kalau  bukan Jepang, ya, mesti cina. Kami menggelengkan kepala dan akhirnya berkata, "Indonesia."

"Aaaa, Indonesia! Dobro, dobro," kata mereka serempak. Artinya "bagus, bagus!"

Ya, di mana-mana mereka memuji kami secara terang-terangan sehingga sering membuat kami kikuk juga. Kadang-kadang kalau kami sedang lewat, terdengar mereka mempercakapkan kami, walaupun kami hanya bisa menangkapnya sepotong-sepotong. Seorang kenalan bangsa Yugo yang pandai berbahasa inggris dan kebetulan sedang berjalan bersama kami menjelaskan tentang apa yang sedang mereka percakapkan. Rupanya mereka mengagumi sejarah perjuangan kemerdekaan kita pada tahun 1945, yang hanya dengan bambu runcing, sanggup mengalahkan belanda yang menggunakan persenjataan serba modern. Mereka semakin kagum karena setelah berkenalan dengan kami, ternyata orang-orangnya sangat sederhana, berperawakan sedang, bahkan boleh dikatakan kecil, sikapnya ramah-tamah, bahkan boleh dikatakan lemah lembut.

Barangkali sikap kami memang terlalu ramah untuk ukuran mereka. Di samping sudah menjadi kebudayaan kami, semua pesan dan amanat yang kami terima dari orang tua kami, dari atasan kami, bahkan dari Kepala Negara Sukarno, sebelum kami berangkat meninggalkan tanah air, itu masih kami pegang teguh dan perhatikan sungguh-sungguh.
"Jaga nama baik Indonesia!"
"Jangan permalukan bangsa!"

Bahkan, pada waktu kami memasuki pelabuhan pertama di luar negeri, yaitu di kota Kolombo setelah Dewa Ruci meninggalkan tanah air, dikeluarkanlah sebuah instruksi spesifik agar awak Dewa Ruci senantiasa menjaga sikap dan tindakannya.

Jadi, kalau sikap kami sehari-hari memang serba correct, itu bukan hanya karena sifat ketimuran yang masih tebal dan membudaya, tetapi juga dituntut oleh disiplin kedinasan sehingga betul-betul harus menjadi way of life kita. Tanpa dibuat-buat. Seadanya.

Dan kalau kami berjalan-jalan menikmati keindahan kota Split pada petang hari, banyak penduduknya yang terheran-heran menerima anggukan kepala dari kami disertai ucapan selamat sore dalam bahasa Yugo. Agak terkejut, mereka membalas keras-keras, "Dobro Vece!"

Mereka seperti terkesima karena seolah tidak percaya ada orang asing yang tidak mereka kenal memberi hormat kepada mereka. Dan mereka tersenyum mengangguk-angguk. Sungguh, menerima ucapan salam dari orang yang tidak dikenal merupakan sesutu yang sudah sangat jarang terjadi dalam kehidupan mereka yang individualistis. Menerima kenyataan yang mengagetkan itu, yang bagi kami sebenarnya bukan apa-apa bahkan sudah mendarah daging, yaitu sifat dan kebiasaan menghormati orang tua, maka nenek-nenek dan kakek-kakek itu seperti tersentak dari jalannya yang tertatih-tatih, menoleh kepada kami dengan pandangan seperti tidak percaya dan berkata, "Terima kasih. Selamat sore untukmu, Nak!"

~Awak Dewa Ruci, ketika mereka berlabuh di Yugoslavia, 30 April 1964~
::Dewa Ruci: Pelayaran Pertama Menaklukkan Tujuh Samudera::Cornelis Kowaas::

Membaca buku ini membuatku ingin merasakan sebuah pelayaran seperti mereka. Dewa Ruci yang menginspirasi.

Minggu, 08 Januari 2012

Semangat

Semangat An!
Bukankah kau pernah bertemu dengannya,
yang takkan berhenti hingga batas kemampuan,
tak peduli hasil tak memuaskan, asalkan berproses maksimal.

Semangat An!
Bukankah pernah kau temui,
Perantau tangguh yang bersinar,
tak terhalang amanah, tak terhalang tugas, tak terhalang kewajiban,
buah kemenangannya atas pengaturan waktu

Semangat An!
Bukankah ia sahabatmu,
Tak pernah berpikir berat,
Slalu menebar senyum,
memberimu rasa optimis,
melihat dari sisi positif,

Semangat An!
Bukankah mereka pribadi luar biasa?
Kau tahu,
ya, kau tahu.
Perjuangan mereka lebih berat,
masalah mereka lebih sulit.

tak perlu kau bandingkan,
jalanmu dengan jalan mereka,
jika hanya membawa malu,
jika hanya berasap negatif.
tapi bandingkanlah,
karena akan membawa motivasi
karena akan memberi semangat
karena kau akan tahu
bahwa tak ada nikmat tanpa syukur

Lihatlah apa yang bisa menjadikanmu baik,
Tirulah apa yang akan menjadikanmu lebih,
Semangat An!

::sedikit kata tentang mereka, di sela-sela belajarku,050112::

Selasa, 03 Januari 2012

Kostum Dua Rasa


Lima bulan sekedar menjadi tamu,
Kurang ajar memang, tak tahu sopan santun, tak layak berpantun.
Skenarionya bukan tentang sandiwara
Karena memang tak seharusnya ada sandiwara,
Juga tak perlu berlama-lama
Karena seharusnya memang tak perlu waktu lama.

Selalu terbayang,
Mengeliminasi predikat tamu, menanti sebuah keluarga,
Mengharap sambutan hangat,
Menjadi bagian darinya. Bagaimanapun

Seakan tertutup kesempatan,
Kulewatkan hari tanpa pikiran,
Hingga harinya tiba.
Kenyataannya cepat tak berarti selalu tepat.
Dan kini kutahu, bukan cepat yang kami butuhkan,
Karena 31 desember 2011,
Karena akhir tahun ini indah.

Dibuka dengan dua kuliah pengganti,
Tapi ia indah karena materi ini.
Kami yang beraksi,
Mengawali langkah dari teduhnya pohon
Menapakkan langkah ke arah lapangan
Tak ada agenda pasti,
Kabur, tak putih tak juga hitam,
Dan semua jelas saat ia berada di angka empat

Berbaris rapi dalam lima hitungan,
Oke kami lakukan,
Maju hingga sejengkal, Rentangkan tangan, genggam,
Berhias percik-percik air,
Maka disana mulai kurasa,
Sebuah ikatan keluarga
Karena seharusnya susah senang memang tertanggung bersama

Lanjutlah oleh sebuah minuman,
tak enak, sungguh
bahkan menunggu jatah pun mengeraskan tangan
apalagi tak lupa ucapan mental.
Ini pula yang membuat terenyuh,
Diluar mungkin memang keras, pedas, menusuk
Tapi di dalam ia memotivasi, menyemangati,
Menguatkan arti sebuah keluarga.

Dua jam kukira, penuh ekspektasi tak terhenti,
Kecemasan tak terkira, percampuran rasa.
Akhir, di masa-masa terpenting, saat-saat tersakral,
Tak kusangka teladan lah yang datang,
Sungguh indah sebuah ikatan,
Walau Hanya terbentuk dari sebuah bangunan,
Nyatanya ia itu tetap kokoh, berdiri tegak tak terhalang tempat, tak terhalang waktu.

Maka kusebut Akhir yang indah,
Karena sang penyemat itu,
Simbolis memberi korsa, dengan menebar teladan rasa
31 desember 2011,
kukabarkan, sore itu ia menjadi kostum dua rasa
~di detik-detik pergantian tahun~