Kamis, 12 Januari 2012

Dewa Ruci


"Japan?"
Banyak di antara mereka di sini yang menyangka bahwa kami yang berperawakan sedang dan sipit ini berasal dari Negeri Matahari terbit. Dan kami hanya menggelengkan kepala, bahkan timbul perasaan ingin mencobai mereka. "Ayo coba terka!"
"Kina?" tanyanya. Nah, mereka menyebut cina dengan kina. Dan tentu saja terkaan mereka tidak jauh meleset karena yang bermata sipit itu kalau  bukan Jepang, ya, mesti cina. Kami menggelengkan kepala dan akhirnya berkata, "Indonesia."

"Aaaa, Indonesia! Dobro, dobro," kata mereka serempak. Artinya "bagus, bagus!"

Ya, di mana-mana mereka memuji kami secara terang-terangan sehingga sering membuat kami kikuk juga. Kadang-kadang kalau kami sedang lewat, terdengar mereka mempercakapkan kami, walaupun kami hanya bisa menangkapnya sepotong-sepotong. Seorang kenalan bangsa Yugo yang pandai berbahasa inggris dan kebetulan sedang berjalan bersama kami menjelaskan tentang apa yang sedang mereka percakapkan. Rupanya mereka mengagumi sejarah perjuangan kemerdekaan kita pada tahun 1945, yang hanya dengan bambu runcing, sanggup mengalahkan belanda yang menggunakan persenjataan serba modern. Mereka semakin kagum karena setelah berkenalan dengan kami, ternyata orang-orangnya sangat sederhana, berperawakan sedang, bahkan boleh dikatakan kecil, sikapnya ramah-tamah, bahkan boleh dikatakan lemah lembut.

Barangkali sikap kami memang terlalu ramah untuk ukuran mereka. Di samping sudah menjadi kebudayaan kami, semua pesan dan amanat yang kami terima dari orang tua kami, dari atasan kami, bahkan dari Kepala Negara Sukarno, sebelum kami berangkat meninggalkan tanah air, itu masih kami pegang teguh dan perhatikan sungguh-sungguh.
"Jaga nama baik Indonesia!"
"Jangan permalukan bangsa!"

Bahkan, pada waktu kami memasuki pelabuhan pertama di luar negeri, yaitu di kota Kolombo setelah Dewa Ruci meninggalkan tanah air, dikeluarkanlah sebuah instruksi spesifik agar awak Dewa Ruci senantiasa menjaga sikap dan tindakannya.

Jadi, kalau sikap kami sehari-hari memang serba correct, itu bukan hanya karena sifat ketimuran yang masih tebal dan membudaya, tetapi juga dituntut oleh disiplin kedinasan sehingga betul-betul harus menjadi way of life kita. Tanpa dibuat-buat. Seadanya.

Dan kalau kami berjalan-jalan menikmati keindahan kota Split pada petang hari, banyak penduduknya yang terheran-heran menerima anggukan kepala dari kami disertai ucapan selamat sore dalam bahasa Yugo. Agak terkejut, mereka membalas keras-keras, "Dobro Vece!"

Mereka seperti terkesima karena seolah tidak percaya ada orang asing yang tidak mereka kenal memberi hormat kepada mereka. Dan mereka tersenyum mengangguk-angguk. Sungguh, menerima ucapan salam dari orang yang tidak dikenal merupakan sesutu yang sudah sangat jarang terjadi dalam kehidupan mereka yang individualistis. Menerima kenyataan yang mengagetkan itu, yang bagi kami sebenarnya bukan apa-apa bahkan sudah mendarah daging, yaitu sifat dan kebiasaan menghormati orang tua, maka nenek-nenek dan kakek-kakek itu seperti tersentak dari jalannya yang tertatih-tatih, menoleh kepada kami dengan pandangan seperti tidak percaya dan berkata, "Terima kasih. Selamat sore untukmu, Nak!"

~Awak Dewa Ruci, ketika mereka berlabuh di Yugoslavia, 30 April 1964~
::Dewa Ruci: Pelayaran Pertama Menaklukkan Tujuh Samudera::Cornelis Kowaas::

Membaca buku ini membuatku ingin merasakan sebuah pelayaran seperti mereka. Dewa Ruci yang menginspirasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar