Ada yang unik di indrayanti. Pantainya hanya selebar 400meteran, diapit
oleh dua tebing. Januari 19, pantai pasang. Aku yang datang kloter
terakhir (tersesat) tanpa basa-basi langsung menuju pantai, menghampiri
teman-temanku yang mayoritas sudah di sana satu jam.
Memang tak berniat untuk basah, aku hanya sekedar beradu kaki dengan
ombak. Itu pun hanya sebentar, selebihnya waktuku yang hanya 1 jam
kuluangkan untuk bermain voli dan menikmati sunset sore itu. Agak bosan,
aku mendekati tebing timur. Beberapa temanku sedang asyik di sekitar
sungai kecil. Ah, tak bisa kusebut sungai karena tak alami. Kusebut got
pun tak pas karena terlalu bersih. Lebarnya tak sampai 60 senti, turun
dari kebun, mengalir 3 meter di pasir putih, lalu membaur ke laut. Sore
itu airnya terlihat bersih. Aku penasaran, tawarkah airnya? Maka
kudekati aliran air yang hanya sedalam belasan senti di pasir pantai
itu. Kuambil seteguk, kurasakan. Asin, maka kubuang tanpa kutelan.
Tampaknya ia sudah bercampur dengan air laut, walau garis pantai masih
beberapa meter lagi. Atau mungkin pasir pantai lah yang menyebabkan
asin. Entah, tapi setidaknya penasaranku hilang.
Pagi di pantai juga tak boleh kulewatkan. Kali ini tebing kunaiki.
Tak terlalu sulit, sudah ada jalan meski cukup terjal. Puas melihat
cakrawala dari atas, aku kembali turun. Sungai buatan yang kemarin
kuminum airnya letaknya dekat dengan tebing. Maka kumanfaatkan untuk
mencuci kaki. Detik itu aku kaget. "Lho, kok airnya kayak ada minyaknya
ya?" tanyaku pada temanku. "Wajarlah, itu kan air limbah, temanku
menyahut." Kulihat jalur sungai buatan itu, tampaknya memang dari
warung-warung dan WC yang ada di sana. Sejak saat itu, meningat sungai
palsu selalu membuatku ingin muntah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar