Dan seorang cendikiawan berkata, "Bicaralah tentang berbicara." Dan ia menjawab, berkata: "kau bicara ketika kau mengejar rasa damai dengan pikiranmu: Dan ketika kau tidak mampi lagi hidup dalam kesendirian hatimu, hidup dalam bibirmu, dan suara adalah perubahan masa lalu."
"Dan banyak dalam bicaramu, pikiran telah setengah dibunuh. Karena pikiran adalah burung dari jarak, yang berada dalam sangkar kata-kata yang dapat membuka sayapnya namun tak dapat terbang. Banyak di antara kamu yang mencari si cerewet melalui ketakutan untuk sendirian. Kesunyian kesendirian menyingkapkan ketelanjangan di depan matanya, dan mereka akan melarikan diri."
"Dan ada di antara mereka yang berbicara, dan tanpa pengetahuan menyingkapkan kebenaran yang sebenarnya tidak mereka pahami. Dan ada di antara mereka yang memiliki kebenaran dalam diri mereka, tetapi mereka tidak mengatakannya dalam kata-kata. Dalam hati merekalah jiwa seperti ini tinggal dalam kesunyian berirama."
"Ketika kau bertemu dengan temanmu di sisi jalan dekat pasar, biarkan semangat dalam dirimu menggerakkan bibir dan mengarahkan lidahmu. Biarkan suara dalam suaramu berbicara pada telinga dari telinganya. Karena jiwanya akan menyimpan kebenaran hatimu seperti rasa anggur teringat selalu. Ketika warna terlupakan dan tidak ada lagi kapal."
_Kahlil Gibran: Bahasa Cinta-Mu
Rabu, 23 November 2011
Selasa, 15 November 2011
Tega
Pernah
punya barang kesayangan? Tentu jawabanmu pernah. Aku pun pernah. Kali ini
tentang sepatu. Aku tidak tahu harus menyebut sepatuku ini benda kesayangan
atau apa. Tapi yang jelas ketika sepatuku masih ada, aku selalu mendahulukan
memakai sepatuku yang satu ini dibandingkan dengan sepatuku yang lainnya. Aku
memiliki tiga pasang sepatu waktu itu. Satu kebesaran, tak pernah kupakai. Satu
lagi sepatuku yang telah berumur empat tahun, tapi masih bagus. Yang terakhir
adalah si putih kesayanganku.
Sejarah perawatan sepatuku memang cukup
memuaskan. Sejak SMP aku memiliki paling tidak dua sepatu(saat SD aku tidak
pakai sepatu kets). Dua pasang itu bukan berarti boros, justru itu malah irit.
Strategiku yaitu selalu berganti sepatu tiap hari. Itu membuat sepatuku awet.
Jarang sepatuku sakit. Jika sakit pun pasti bisa diobati di UGD. Jangan kira
aku bercanda. Di dekat rumahku yang dulu memang ada UGD khusus tas dan sepatu. Kualitasnya
pun terbukti dengan pelanggan yang selalu membludak. Sepatu atau tas yang sakit
setidaknya harus menginap dua hari di sana, hanya karena harus mengantri.
Padahal dokter di sana setahuku ada empat. Laris bukan? Itulah mengapa sepatuku
selalu sehat.
Kebiasaanku
berganti sepatu tiap hari akhirnya berhenti juga. Semua bermula ketika salah
satu sepatuku yang kugunakan sejak SMP sudah tidak muat lagi. Dia harus
pensiun, aku harus mencari pemain pengganti. Kebetulan saat itu aku sedang
fokus di sekolah. Maka aku memasrahkan pemain pengganti itu pada ibuku. Aku
hanya berpesan ukuranku 44. Akhirnya suatu sore kulihat sebuah boks sepatu
baru. Tentu langsung kubuka. Putih! Kaget juga aku waktu itu. Maklum, aku
selama ini selalu memilih sepatu berwarna gelap, sesuai dengan kulitku kan.
Haha. Tapi tak apa, toh aku sudah memercayakan sang pengganti pada ibuku.
Ternyata Si Putih lah yang terpiilih. Okelah kalau begitu.
Debut
kami bukan berarti langsung dimulai hari itu. Kebiasaanku lah untuk tidak
memakai apa yang masih baru. Setidaknya selama dua minggu ia kubiarkan tak
tersentuh. Selama itu kugunakan sepatu SMP ku yang sampai sekarang masih awet.
Jujur aku canggung memakai Si Putih. Ia terlihat terlalu mancolok, terlalu
kontras dengan aku. Akhirnya suatu hari kugunakan sepatu putihku itu saat
sekolah. Seperti dugaanku, beberapa temanku langsung melihatnya. Si putih ini
memang tak bisa kusembunyikan. Seperti layaknya sepatu baru lainnya, si putih
selalu di ajak bermain oleh sepatu temanku, dianiaya tepatnya. Tak punya salah,
kami sering diburu kemana-mana. “Kenalan dulu,” kata mereka. Akhirnya debut
pertamanya di teladan berakhir dengan sedikit noda hitam padanya. Kasihan
sekali SI Putih.
Kami
semakin kompak. Aku tak lagi sungkan bermain dengannya. Meski begitu tiap hari
aku selalu membersihkannya. Aku tak ingin dia kotor. Semakin lama, kebiasaanku
berganti sepatu punah. Hampir setiap hari Si Putih kugunakan. Apalagi tiap hari
kamis, saat kelasku ada jadwal olahraga. Kuakui ia sangat unggul dalam
olahraga, terutama futsal. Begitu asyik aku bermain dengannya. Mungkin inilah
yang membuat aku dan Putih akrab, kami memiliki kesamaan hobi. Meski si putih
bukan sepatu futsal, tapi posturnya benar-benar mirip. Jadilah ia selalu
menjadi favoritku saat ada jadwal futsal dalam agendaku. Bahkan seingatku ia
tiap hari kupakai, kecuali saat sepatuku itu basah.
Setahun
sudah. Si Putih selalu tampak sehat bagiku. Tapi ternyata tidak. Diam-diam ia
memendam luka. Sedikit demi sedikit luka itu melebar, sampai akhirnya aku
sadar. Si Putih sakit, kepalanya sobek. Langsung ia kumasukkan ke UGD. Kuminta
sang dokter menjahit seluruh keliling kakinya. Akhirnya ia sembuh.
Alhamdulillah, setidaknya tidak parah. Namun dugaanku salah. Sejak ke UGD itu
dia sering bolak-balik sakit. Jahitannya kadang terbuka, solnya semakin
menipis. Sepatu itu keluar masuk UGD berkali-kali. Meski begitu Si Putih tetap
ingin aku menggunakannya. Maka ia tetap kugunakan, walaupun aku lebih
berhati-hati. Saat futsal tak kurasakan perbedaan permainannya walaupun solnya
sudah menipis. Asyik sekali bermain futsal dengan si putih. Tapi begitulah, layaknya
besi yang memiliki yield point dalam kurva tegangan regangan, sepatuku pun
demikian. Bahasa trennya masa uzur, masa tua, rusak. Semakin lama ia semakin
bertambah parah. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menggunakannya lagi, kecuali
di saat-saat genting. Ia sudah sekarat.
Waktu
berlalu, kelas tiga pun sudah mendekati akhir. Ujian-ujianku sudah selesai.
Kini tinggal masa santai. Kami, teladan 11, punya rutinitas baru. Futsal! Aku
tergoda untuk menggunakan Si Putih setelah lama ia tak kugunakan. Aku tidak tahan
lagi. Sepertinya ia juga sangat ingin bermain, seakan rela rusak. Kumantapkan
diri bermain futsal dengan si putih. Hari itu, saat spicy punya agenda makan
bareng di rumah makan daerah utara, sepatu putih kesayanganku itu kugunakan.
Event penting, si putih harus ikut. Apalagi ada futsal. Tapi tak kusangka, pada
sebuah tendangan, ahh,,, tak bisa kuceritakan. Aku lupa tanggal berapa, yang
jelas satu hari di Maret 2011 itu menjadi hari terakhirku bersamanya. Ibuku
menyuruhku membuangnya. Tak akan, kataku. Tak akan, sebelum aku benar-benar
tahu dia sudah mati. Aku menunggu tukang sol sepatu lewat di depan rumahku.
Biasanya sih hari ahad.
Takdir
ternyata berbeda. Suatu sore sepulang sekolah kulihat rak sepatuku. Si Putih
tak di tempatnya. Kucari ia, tak ketemu. Kutanya ayahku, tak tahu. Adikku juga
tak tahu. Kini ibuku. Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. “Tadi ibuk buang,
wong udah nggak bisa dipake gitu kok”. Teganya, aku pasrah. Selamat tinggal
kawan.
Senin, 14 November 2011
Rel Tak Berujung
Sudah hampir jam tujuh
pagi aku baru selesai mandi. Ujianku jam setengah delapan. Yah, malas
ternyata merugikan. Perjalananku setidaknya memakan waktu 20 menit. Maka
selang beberapa menit aku langsung pamit, tak lupa mohon doa beliau
berdua.
Dua ratus meter berkendara, otakku masih dipenuhi rasa waswas. Semoga jalannya lancar, harapku. Jika kau tahu, rumahku di daerah selatan dekat XT Square. Jalan tercepat ke kampus tentu menyusuri kali mambu. Belum satu menit di jalan itu tiba-tiba aku tersadar. Bukan apa-apa, hanya sebuah syukur yang tiba-tiba muncul. Pagi yang cerah, merapi merbabu terlihat indah. Segala pikiran waswasku lenyap, berganti dengan sebuah ketenangan yang menentramkan. Jadilah mereka viewku sepanjang perjalanan karena aku memang mengarah ke utara. Betapa beruntungnya aku.
Setengah perjalanan sudah. Inilah salah
satu tempat favoritku dalam perjalanan, jembatan layang. Ada yang
berbeda. Rutinitasku menoleh kanan/kiri saat melintas puncak jembatan
seakan sudah menjadi kebiasaan. Semua bermula ketika aku harus les ELTI
di sore hari. Setengah enam mulainya. Aku selalu berangkat mepet. Sering
terlambat malah. Nah, ternyata semakin lama aku semakin sadar bahwa
terlambat kadang menyenangkan, walaupun hanya sesaat. Karena terlambat
itu lah aku bisa melihat lempuyangan dengan rel kereta tak berujung plus
background matahari terbenam. Langit merah yang indah. Itulah sensasi
terlambatku (apa sensasimu? halah). Itu pulalah yang menjadi awal
kebiasaanku menoleh di atas jembatan layang. Memang sebentar, paling
banter hanya sepuluh detik, itupun jika beruntung. Tapi tak bisa
kubantah, detik-detik itu luar biasa.
Mataku kembali ke merapi. Itukah puncak yang baru? Terlihat berbeda. Mungkin hanya perasaanku saja. Di Jembatan layang itu merapi dan merbabu terlihat jelas sekali, membuat pikiranku melayang ke ruangan 311(atau 310 ya?) dulu. Aku tak betah berdiam diri dalam keadaan duduk dan menatap satu tempat dalam waktu yang lama. Contohnya saat ujian. Tak kuat aku melihat kertas selama dua jam penuh. Maka jika tak beruntung, saat posisiku ada di tengah kelas, kadang aku hanya memandang langit-langit. Tentu jika disuruh memilih, meja paling pojok dekat jendela menjadi tempat kesukaanku. Apalagi di ruang 311 bagian utara. Di sana lah merapi kerap terlihat. Entah mengapa, aku hanya merasa damai saat melihat hal-hal semacam itu.. View yang seakan menjadi penetral saat marah, dan penyegar saat penat.
Semua bermula dari perjalanan yang terlambat. Perjalanan dua puluh menit itu ternyata telah di plot menjadi penyejuk memori menjelang ujianku pagi tadi.
~uts semester1~
Senin, 14 november 2011. Pagi ini aku kuliah jam 7. Merapi seperti pindah tempat, begeser ke timur. Atau mungkin aku yang ngelindur?
Dua ratus meter berkendara, otakku masih dipenuhi rasa waswas. Semoga jalannya lancar, harapku. Jika kau tahu, rumahku di daerah selatan dekat XT Square. Jalan tercepat ke kampus tentu menyusuri kali mambu. Belum satu menit di jalan itu tiba-tiba aku tersadar. Bukan apa-apa, hanya sebuah syukur yang tiba-tiba muncul. Pagi yang cerah, merapi merbabu terlihat indah. Segala pikiran waswasku lenyap, berganti dengan sebuah ketenangan yang menentramkan. Jadilah mereka viewku sepanjang perjalanan karena aku memang mengarah ke utara. Betapa beruntungnya aku.
Setengah perjalanan sudah. Inilah salah
satu tempat favoritku dalam perjalanan, jembatan layang. Ada yang
berbeda. Rutinitasku menoleh kanan/kiri saat melintas puncak jembatan
seakan sudah menjadi kebiasaan. Semua bermula ketika aku harus les ELTI
di sore hari. Setengah enam mulainya. Aku selalu berangkat mepet. Sering
terlambat malah. Nah, ternyata semakin lama aku semakin sadar bahwa
terlambat kadang menyenangkan, walaupun hanya sesaat. Karena terlambat
itu lah aku bisa melihat lempuyangan dengan rel kereta tak berujung plus
background matahari terbenam. Langit merah yang indah. Itulah sensasi
terlambatku (apa sensasimu? halah). Itu pulalah yang menjadi awal
kebiasaanku menoleh di atas jembatan layang. Memang sebentar, paling
banter hanya sepuluh detik, itupun jika beruntung. Tapi tak bisa
kubantah, detik-detik itu luar biasa.Mataku kembali ke merapi. Itukah puncak yang baru? Terlihat berbeda. Mungkin hanya perasaanku saja. Di Jembatan layang itu merapi dan merbabu terlihat jelas sekali, membuat pikiranku melayang ke ruangan 311(atau 310 ya?) dulu. Aku tak betah berdiam diri dalam keadaan duduk dan menatap satu tempat dalam waktu yang lama. Contohnya saat ujian. Tak kuat aku melihat kertas selama dua jam penuh. Maka jika tak beruntung, saat posisiku ada di tengah kelas, kadang aku hanya memandang langit-langit. Tentu jika disuruh memilih, meja paling pojok dekat jendela menjadi tempat kesukaanku. Apalagi di ruang 311 bagian utara. Di sana lah merapi kerap terlihat. Entah mengapa, aku hanya merasa damai saat melihat hal-hal semacam itu.. View yang seakan menjadi penetral saat marah, dan penyegar saat penat.
Semua bermula dari perjalanan yang terlambat. Perjalanan dua puluh menit itu ternyata telah di plot menjadi penyejuk memori menjelang ujianku pagi tadi.
~uts semester1~
Senin, 14 november 2011. Pagi ini aku kuliah jam 7. Merapi seperti pindah tempat, begeser ke timur. Atau mungkin aku yang ngelindur?
Sabtu, 12 November 2011
Kami Berbaring, Tak Ada Lagi Kata
Malam itu aku menginap di pinggir pantai, di rumah Paijo maksudku, di
daerah pesisir. Kami berlima(bener ra yo? lali aku), Sebut saja Paijo,
Legimin, Kliwon, Ponijo, dan aku sendiri. Sebenarnya sabtu itu h-2 ujian
mid semester. Entah apa yang ada di benakku dan teman-temanku sehingga
kami bukannya belajar di rumah, tapi malah rela menghabiskan satu jam
perjalanan jauh ke selatan. Kami tiba di sana saat isya’. Perjalanan
yang melelahkan. Agenda kami malam itu belajar. Terlaksana, walau hanya 1
jam. Godaan untuk mengobrol ternyata sangat besar. Parah! Jam 9 mata
kami sudah berat. Sungguh menggiurkan kasur itu. Akhirnya satu persatu
temanku mulai berbaring. Tapi seperti biasa, jika sudah pada posisi ini
kami selalu punya bahan bercerita. Sesi mendengarkan yang asyik bagiku.
Temanku Kliwon tertidur, disusul Paijo. Aku masih mendengarkan kedua
temanku Ponijo dan Legimin bercerita. Ternyata si Kliwon belum
sepenuhnya tertidur, terkadang dia menanggapi apa yang kami ceritakan.
Tiba-tiba Kliwon berdiri, mau sholat katanya. Dia turun, mencari kamar
mandi. Tak lama kemudian Kliwon kembali. Kami masih asyik bercerita.
Kliwon menggelar sajadah, lalu memulai sholat. “Kiblat orang mengantuk
ternyata bisa berubah ya,” pikirku. Detik itu juga kami heboh, tertawa
selepas-lepasnya. Sampai perutku sakit rasanya. Satu lagi yang konyol,
namun sepertinya tak layak kuceritakan di sini. Yasudah, lupakan.
Semua sudah tertidur, tapi bukan aku. Di saat-saat seperti ini kelima
inderaku semakin sensitif. Sayup-sayup kudengar suara gamelan. Jauh,
suaranya sangat jauh. Merinding aku dibuatnya. Bayangkan saja, sudah
diatas jam 11, di rumah yang dikelilingi kebun penuh pohon, tanpa
penerangan sedikit pun, membuat pikiranku melayang kemana-mana. Dalam
pikiran-pikiran seperti itu, dengan beragam kekhawatiran tentang ujian
mid semester lusa, entah bagaimana akhirnya aku tertidur.
“Iyuung!!!” keheningan terpecahkan oleh suara si Paijo. Mimpiku buyar.
Aku, Kliwon, dan Legimin bangun serentak, bereaksi dengan gerakan yang
identik. Kulihat temanku Paijo menggeliat memegang kakinya, kesakitan.
Tampaknya dia kram. “Sudah biasa,” katanya. Sempat kami tertawa, mereka
ulang kejadian luar biasa malam itu. Gila saja, saat itu dini hari
kawan. Entah jam berapa, tapi kutahu itu belum pagi. Ah, terserah lah.
Aku lebih tertarik pada bantal di belakangku. Tampaknya teman-temanku
pun sepikiran. Kami berbaring, tak ada lagi kata. Saat itu aku sadar, di
luar hujan.
~Jogja larut malam071111~
Minggu, 06 November 2011
But If I Fail I Try Again, and Again, and Again
…
But there’s sometime in life where you fall down,
And you feel like you don’t have strength to get back up.
Do you think you have hope?
Because I tell you, I’m down here, face down,
And I have no arms and no legs.
It should be impossible for me to get back up,
But it’s not!
You see, I’ll try one hundred times to get up,
And if I fail one hundred times,
If I fail, and I give up, do you think then I’m gonna get back up?
No!
But if I fail I try again, and again, and again.
But I just want you to know that it’s not the end.
It matters how you gonna finish,
Are you gonna finish strong?
And you’ll find that street to get back up, like this.
…

_nick vujicic
But there’s sometime in life where you fall down,
And you feel like you don’t have strength to get back up.
Do you think you have hope?
Because I tell you, I’m down here, face down,
And I have no arms and no legs.
It should be impossible for me to get back up,
But it’s not!
You see, I’ll try one hundred times to get up,
And if I fail one hundred times,
If I fail, and I give up, do you think then I’m gonna get back up?
No!
But if I fail I try again, and again, and again.
But I just want you to know that it’s not the end.
It matters how you gonna finish,
Are you gonna finish strong?
And you’ll find that street to get back up, like this.
…

_nick vujicic
Langganan:
Komentar (Atom)
