Malam itu aku menginap di pinggir pantai, di rumah Paijo maksudku, di
daerah pesisir. Kami berlima(bener ra yo? lali aku), Sebut saja Paijo,
Legimin, Kliwon, Ponijo, dan aku sendiri. Sebenarnya sabtu itu h-2 ujian
mid semester. Entah apa yang ada di benakku dan teman-temanku sehingga
kami bukannya belajar di rumah, tapi malah rela menghabiskan satu jam
perjalanan jauh ke selatan. Kami tiba di sana saat isya’. Perjalanan
yang melelahkan. Agenda kami malam itu belajar. Terlaksana, walau hanya 1
jam. Godaan untuk mengobrol ternyata sangat besar. Parah! Jam 9 mata
kami sudah berat. Sungguh menggiurkan kasur itu. Akhirnya satu persatu
temanku mulai berbaring. Tapi seperti biasa, jika sudah pada posisi ini
kami selalu punya bahan bercerita. Sesi mendengarkan yang asyik bagiku.
Temanku Kliwon tertidur, disusul Paijo. Aku masih mendengarkan kedua
temanku Ponijo dan Legimin bercerita. Ternyata si Kliwon belum
sepenuhnya tertidur, terkadang dia menanggapi apa yang kami ceritakan.
Tiba-tiba Kliwon berdiri, mau sholat katanya. Dia turun, mencari kamar
mandi. Tak lama kemudian Kliwon kembali. Kami masih asyik bercerita.
Kliwon menggelar sajadah, lalu memulai sholat. “Kiblat orang mengantuk
ternyata bisa berubah ya,” pikirku. Detik itu juga kami heboh, tertawa
selepas-lepasnya. Sampai perutku sakit rasanya. Satu lagi yang konyol,
namun sepertinya tak layak kuceritakan di sini. Yasudah, lupakan.
Semua sudah tertidur, tapi bukan aku. Di saat-saat seperti ini kelima
inderaku semakin sensitif. Sayup-sayup kudengar suara gamelan. Jauh,
suaranya sangat jauh. Merinding aku dibuatnya. Bayangkan saja, sudah
diatas jam 11, di rumah yang dikelilingi kebun penuh pohon, tanpa
penerangan sedikit pun, membuat pikiranku melayang kemana-mana. Dalam
pikiran-pikiran seperti itu, dengan beragam kekhawatiran tentang ujian
mid semester lusa, entah bagaimana akhirnya aku tertidur.
“Iyuung!!!” keheningan terpecahkan oleh suara si Paijo. Mimpiku buyar.
Aku, Kliwon, dan Legimin bangun serentak, bereaksi dengan gerakan yang
identik. Kulihat temanku Paijo menggeliat memegang kakinya, kesakitan.
Tampaknya dia kram. “Sudah biasa,” katanya. Sempat kami tertawa, mereka
ulang kejadian luar biasa malam itu. Gila saja, saat itu dini hari
kawan. Entah jam berapa, tapi kutahu itu belum pagi. Ah, terserah lah.
Aku lebih tertarik pada bantal di belakangku. Tampaknya teman-temanku
pun sepikiran. Kami berbaring, tak ada lagi kata. Saat itu aku sadar, di
luar hujan.
~Jogja larut malam071111~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar