Sabtu, 12 November 2011

Kami Berbaring, Tak Ada Lagi Kata

Malam itu aku menginap di pinggir pantai, di rumah Paijo maksudku, di daerah pesisir. Kami berlima(bener ra yo? lali aku), Sebut saja Paijo, Legimin, Kliwon, Ponijo, dan aku sendiri. Sebenarnya sabtu itu h-2 ujian mid semester. Entah apa yang ada di benakku dan teman-temanku sehingga kami bukannya belajar di rumah, tapi malah rela menghabiskan satu jam perjalanan jauh ke selatan. Kami tiba di sana saat isya’. Perjalanan yang melelahkan. Agenda kami malam itu belajar. Terlaksana, walau hanya 1 jam. Godaan untuk mengobrol ternyata sangat besar. Parah! Jam 9 mata kami sudah berat. Sungguh menggiurkan kasur itu. Akhirnya satu persatu temanku mulai berbaring. Tapi seperti biasa, jika sudah pada posisi ini kami selalu punya bahan bercerita. Sesi mendengarkan yang asyik bagiku.

Temanku Kliwon tertidur, disusul Paijo. Aku masih mendengarkan kedua temanku Ponijo dan Legimin bercerita. Ternyata si Kliwon belum sepenuhnya tertidur, terkadang dia menanggapi apa yang kami ceritakan. Tiba-tiba Kliwon berdiri, mau sholat katanya. Dia turun, mencari kamar mandi. Tak lama kemudian Kliwon kembali. Kami masih asyik bercerita. Kliwon menggelar sajadah, lalu memulai sholat. “Kiblat orang mengantuk ternyata bisa berubah ya,” pikirku. Detik itu juga kami heboh, tertawa selepas-lepasnya. Sampai perutku sakit rasanya. Satu lagi yang konyol, namun sepertinya tak layak kuceritakan di sini. Yasudah, lupakan.

Semua sudah tertidur, tapi bukan aku. Di saat-saat seperti ini kelima inderaku semakin sensitif. Sayup-sayup kudengar suara gamelan. Jauh, suaranya sangat jauh. Merinding aku dibuatnya. Bayangkan saja, sudah diatas jam 11, di rumah yang dikelilingi kebun penuh pohon, tanpa penerangan sedikit pun, membuat pikiranku melayang kemana-mana. Dalam pikiran-pikiran seperti itu, dengan beragam kekhawatiran tentang ujian mid semester lusa, entah bagaimana akhirnya aku tertidur.

“Iyuung!!!” keheningan terpecahkan oleh suara si Paijo. Mimpiku buyar. Aku, Kliwon, dan Legimin bangun serentak, bereaksi dengan gerakan yang identik. Kulihat temanku Paijo menggeliat memegang kakinya, kesakitan. Tampaknya dia kram. “Sudah biasa,” katanya. Sempat kami tertawa, mereka ulang kejadian luar biasa malam itu. Gila saja, saat itu dini hari kawan. Entah jam berapa, tapi kutahu itu belum pagi. Ah, terserah lah. Aku lebih tertarik pada bantal di belakangku. Tampaknya teman-temanku pun sepikiran. Kami berbaring, tak ada lagi kata. Saat itu aku sadar, di luar hujan.

~Jogja larut malam071111~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar