Pernah
punya barang kesayangan? Tentu jawabanmu pernah. Aku pun pernah. Kali ini
tentang sepatu. Aku tidak tahu harus menyebut sepatuku ini benda kesayangan
atau apa. Tapi yang jelas ketika sepatuku masih ada, aku selalu mendahulukan
memakai sepatuku yang satu ini dibandingkan dengan sepatuku yang lainnya. Aku
memiliki tiga pasang sepatu waktu itu. Satu kebesaran, tak pernah kupakai. Satu
lagi sepatuku yang telah berumur empat tahun, tapi masih bagus. Yang terakhir
adalah si putih kesayanganku.
Sejarah perawatan sepatuku memang cukup
memuaskan. Sejak SMP aku memiliki paling tidak dua sepatu(saat SD aku tidak
pakai sepatu kets). Dua pasang itu bukan berarti boros, justru itu malah irit.
Strategiku yaitu selalu berganti sepatu tiap hari. Itu membuat sepatuku awet.
Jarang sepatuku sakit. Jika sakit pun pasti bisa diobati di UGD. Jangan kira
aku bercanda. Di dekat rumahku yang dulu memang ada UGD khusus tas dan sepatu. Kualitasnya
pun terbukti dengan pelanggan yang selalu membludak. Sepatu atau tas yang sakit
setidaknya harus menginap dua hari di sana, hanya karena harus mengantri.
Padahal dokter di sana setahuku ada empat. Laris bukan? Itulah mengapa sepatuku
selalu sehat.
Kebiasaanku
berganti sepatu tiap hari akhirnya berhenti juga. Semua bermula ketika salah
satu sepatuku yang kugunakan sejak SMP sudah tidak muat lagi. Dia harus
pensiun, aku harus mencari pemain pengganti. Kebetulan saat itu aku sedang
fokus di sekolah. Maka aku memasrahkan pemain pengganti itu pada ibuku. Aku
hanya berpesan ukuranku 44. Akhirnya suatu sore kulihat sebuah boks sepatu
baru. Tentu langsung kubuka. Putih! Kaget juga aku waktu itu. Maklum, aku
selama ini selalu memilih sepatu berwarna gelap, sesuai dengan kulitku kan.
Haha. Tapi tak apa, toh aku sudah memercayakan sang pengganti pada ibuku.
Ternyata Si Putih lah yang terpiilih. Okelah kalau begitu.
Debut
kami bukan berarti langsung dimulai hari itu. Kebiasaanku lah untuk tidak
memakai apa yang masih baru. Setidaknya selama dua minggu ia kubiarkan tak
tersentuh. Selama itu kugunakan sepatu SMP ku yang sampai sekarang masih awet.
Jujur aku canggung memakai Si Putih. Ia terlihat terlalu mancolok, terlalu
kontras dengan aku. Akhirnya suatu hari kugunakan sepatu putihku itu saat
sekolah. Seperti dugaanku, beberapa temanku langsung melihatnya. Si putih ini
memang tak bisa kusembunyikan. Seperti layaknya sepatu baru lainnya, si putih
selalu di ajak bermain oleh sepatu temanku, dianiaya tepatnya. Tak punya salah,
kami sering diburu kemana-mana. “Kenalan dulu,” kata mereka. Akhirnya debut
pertamanya di teladan berakhir dengan sedikit noda hitam padanya. Kasihan
sekali SI Putih.
Kami
semakin kompak. Aku tak lagi sungkan bermain dengannya. Meski begitu tiap hari
aku selalu membersihkannya. Aku tak ingin dia kotor. Semakin lama, kebiasaanku
berganti sepatu punah. Hampir setiap hari Si Putih kugunakan. Apalagi tiap hari
kamis, saat kelasku ada jadwal olahraga. Kuakui ia sangat unggul dalam
olahraga, terutama futsal. Begitu asyik aku bermain dengannya. Mungkin inilah
yang membuat aku dan Putih akrab, kami memiliki kesamaan hobi. Meski si putih
bukan sepatu futsal, tapi posturnya benar-benar mirip. Jadilah ia selalu
menjadi favoritku saat ada jadwal futsal dalam agendaku. Bahkan seingatku ia
tiap hari kupakai, kecuali saat sepatuku itu basah.
Setahun
sudah. Si Putih selalu tampak sehat bagiku. Tapi ternyata tidak. Diam-diam ia
memendam luka. Sedikit demi sedikit luka itu melebar, sampai akhirnya aku
sadar. Si Putih sakit, kepalanya sobek. Langsung ia kumasukkan ke UGD. Kuminta
sang dokter menjahit seluruh keliling kakinya. Akhirnya ia sembuh.
Alhamdulillah, setidaknya tidak parah. Namun dugaanku salah. Sejak ke UGD itu
dia sering bolak-balik sakit. Jahitannya kadang terbuka, solnya semakin
menipis. Sepatu itu keluar masuk UGD berkali-kali. Meski begitu Si Putih tetap
ingin aku menggunakannya. Maka ia tetap kugunakan, walaupun aku lebih
berhati-hati. Saat futsal tak kurasakan perbedaan permainannya walaupun solnya
sudah menipis. Asyik sekali bermain futsal dengan si putih. Tapi begitulah, layaknya
besi yang memiliki yield point dalam kurva tegangan regangan, sepatuku pun
demikian. Bahasa trennya masa uzur, masa tua, rusak. Semakin lama ia semakin
bertambah parah. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menggunakannya lagi, kecuali
di saat-saat genting. Ia sudah sekarat.
Waktu
berlalu, kelas tiga pun sudah mendekati akhir. Ujian-ujianku sudah selesai.
Kini tinggal masa santai. Kami, teladan 11, punya rutinitas baru. Futsal! Aku
tergoda untuk menggunakan Si Putih setelah lama ia tak kugunakan. Aku tidak tahan
lagi. Sepertinya ia juga sangat ingin bermain, seakan rela rusak. Kumantapkan
diri bermain futsal dengan si putih. Hari itu, saat spicy punya agenda makan
bareng di rumah makan daerah utara, sepatu putih kesayanganku itu kugunakan.
Event penting, si putih harus ikut. Apalagi ada futsal. Tapi tak kusangka, pada
sebuah tendangan, ahh,,, tak bisa kuceritakan. Aku lupa tanggal berapa, yang
jelas satu hari di Maret 2011 itu menjadi hari terakhirku bersamanya. Ibuku
menyuruhku membuangnya. Tak akan, kataku. Tak akan, sebelum aku benar-benar
tahu dia sudah mati. Aku menunggu tukang sol sepatu lewat di depan rumahku.
Biasanya sih hari ahad.
Takdir
ternyata berbeda. Suatu sore sepulang sekolah kulihat rak sepatuku. Si Putih
tak di tempatnya. Kucari ia, tak ketemu. Kutanya ayahku, tak tahu. Adikku juga
tak tahu. Kini ibuku. Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. “Tadi ibuk buang,
wong udah nggak bisa dipake gitu kok”. Teganya, aku pasrah. Selamat tinggal
kawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar