Selasa, 15 November 2011

Tega


Pernah punya barang kesayangan? Tentu jawabanmu pernah. Aku pun pernah. Kali ini tentang sepatu. Aku tidak tahu harus menyebut sepatuku ini benda kesayangan atau apa. Tapi yang jelas ketika sepatuku masih ada, aku selalu mendahulukan memakai sepatuku yang satu ini dibandingkan dengan sepatuku yang lainnya. Aku memiliki tiga pasang sepatu waktu itu. Satu kebesaran, tak pernah kupakai. Satu lagi sepatuku yang telah berumur empat tahun, tapi masih bagus. Yang terakhir adalah si putih kesayanganku.

 Sejarah perawatan sepatuku memang cukup memuaskan. Sejak SMP aku memiliki paling tidak dua sepatu(saat SD aku tidak pakai sepatu kets). Dua pasang itu bukan berarti boros, justru itu malah irit. Strategiku yaitu selalu berganti sepatu tiap hari. Itu membuat sepatuku awet. Jarang sepatuku sakit. Jika sakit pun pasti bisa diobati di UGD. Jangan kira aku bercanda. Di dekat rumahku yang dulu memang ada UGD khusus tas dan sepatu. Kualitasnya pun terbukti dengan pelanggan yang selalu membludak. Sepatu atau tas yang sakit setidaknya harus menginap dua hari di sana, hanya karena harus mengantri. Padahal dokter di sana setahuku ada empat. Laris bukan? Itulah mengapa sepatuku selalu sehat.

Kebiasaanku berganti sepatu tiap hari akhirnya berhenti juga. Semua bermula ketika salah satu sepatuku yang kugunakan sejak SMP sudah tidak muat lagi. Dia harus pensiun, aku harus mencari pemain pengganti. Kebetulan saat itu aku sedang fokus di sekolah. Maka aku memasrahkan pemain pengganti itu pada ibuku. Aku hanya berpesan ukuranku 44. Akhirnya suatu sore kulihat sebuah boks sepatu baru. Tentu langsung kubuka. Putih! Kaget juga aku waktu itu. Maklum, aku selama ini selalu memilih sepatu berwarna gelap, sesuai dengan kulitku kan. Haha. Tapi tak apa, toh aku sudah memercayakan sang pengganti pada ibuku. Ternyata Si Putih lah yang terpiilih. Okelah kalau begitu.

Debut kami bukan berarti langsung dimulai hari itu. Kebiasaanku lah untuk tidak memakai apa yang masih baru. Setidaknya selama dua minggu ia kubiarkan tak tersentuh. Selama itu kugunakan sepatu SMP ku yang sampai sekarang masih awet. Jujur aku canggung memakai Si Putih. Ia terlihat terlalu mancolok, terlalu kontras dengan aku. Akhirnya suatu hari kugunakan sepatu putihku itu saat sekolah. Seperti dugaanku, beberapa temanku langsung melihatnya. Si putih ini memang tak bisa kusembunyikan. Seperti layaknya sepatu baru lainnya, si putih selalu di ajak bermain oleh sepatu temanku, dianiaya tepatnya. Tak punya salah, kami sering diburu kemana-mana. “Kenalan dulu,” kata mereka. Akhirnya debut pertamanya di teladan berakhir dengan sedikit noda hitam padanya. Kasihan sekali SI Putih.

Kami semakin kompak. Aku tak lagi sungkan bermain dengannya. Meski begitu tiap hari aku selalu membersihkannya. Aku tak ingin dia kotor. Semakin lama, kebiasaanku berganti sepatu punah. Hampir setiap hari Si Putih kugunakan. Apalagi tiap hari kamis, saat kelasku ada jadwal olahraga. Kuakui ia sangat unggul dalam olahraga, terutama futsal. Begitu asyik aku bermain dengannya. Mungkin inilah yang membuat aku dan Putih akrab, kami memiliki kesamaan hobi. Meski si putih bukan sepatu futsal, tapi posturnya benar-benar mirip. Jadilah ia selalu menjadi favoritku saat ada jadwal futsal dalam agendaku. Bahkan seingatku ia tiap hari kupakai, kecuali saat sepatuku itu basah.

Setahun sudah. Si Putih selalu tampak sehat bagiku. Tapi ternyata tidak. Diam-diam ia memendam luka. Sedikit demi sedikit luka itu melebar, sampai akhirnya aku sadar. Si Putih sakit, kepalanya sobek. Langsung ia kumasukkan ke UGD. Kuminta sang dokter menjahit seluruh keliling kakinya. Akhirnya ia sembuh. Alhamdulillah, setidaknya tidak parah. Namun dugaanku salah. Sejak ke UGD itu dia sering bolak-balik sakit. Jahitannya kadang terbuka, solnya semakin menipis. Sepatu itu keluar masuk UGD berkali-kali. Meski begitu Si Putih tetap ingin aku menggunakannya. Maka ia tetap kugunakan, walaupun aku lebih berhati-hati. Saat futsal tak kurasakan perbedaan permainannya walaupun solnya sudah menipis. Asyik sekali bermain futsal dengan si putih. Tapi begitulah, layaknya besi yang memiliki yield point dalam kurva tegangan regangan, sepatuku pun demikian. Bahasa trennya masa uzur, masa tua, rusak. Semakin lama ia semakin bertambah parah. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menggunakannya lagi, kecuali di saat-saat genting. Ia sudah sekarat.

Waktu berlalu, kelas tiga pun sudah mendekati akhir. Ujian-ujianku sudah selesai. Kini tinggal masa santai. Kami, teladan 11, punya rutinitas baru. Futsal! Aku tergoda untuk menggunakan Si Putih setelah lama ia tak kugunakan. Aku tidak tahan lagi. Sepertinya ia juga sangat ingin bermain, seakan rela rusak. Kumantapkan diri bermain futsal dengan si putih. Hari itu, saat spicy punya agenda makan bareng di rumah makan daerah utara, sepatu putih kesayanganku itu kugunakan. Event penting, si putih harus ikut. Apalagi ada futsal. Tapi tak kusangka, pada sebuah tendangan, ahh,,, tak bisa kuceritakan. Aku lupa tanggal berapa, yang jelas satu hari di Maret 2011 itu menjadi hari terakhirku bersamanya. Ibuku menyuruhku membuangnya. Tak akan, kataku. Tak akan, sebelum aku benar-benar tahu dia sudah mati. Aku menunggu tukang sol sepatu lewat di depan rumahku. Biasanya sih hari ahad.

Takdir ternyata berbeda. Suatu sore sepulang sekolah kulihat rak sepatuku. Si Putih tak di tempatnya. Kucari ia, tak ketemu. Kutanya ayahku, tak tahu. Adikku juga tak tahu. Kini ibuku. Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. “Tadi ibuk buang, wong udah nggak bisa dipake gitu kok”. Teganya, aku pasrah. Selamat tinggal kawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar