Senin, 26 Desember 2011

Bola Itu Bundar

Bola itu bundar.
berawal dari ingin punya, bukan pinjam, dulu.
kini, enam bulan kemudian,
ia bergulir lagi,
kesana kemari di lapangan biru,
melepas rindu di setiap operan,
menghilangkan kelu saat ada tendangan,
memberi senyum pada tiap tangkapan.
Bola itu bundar,
catnya saja sudah pudar.
Dulu ia bermacam warna, sekarang sewarna saja.
Seperti kami,
kami memang beragam, tapi waktu menjadikan kami satu,
ya, satu yang padu.
Bola itu bundar
Ia hanya sekedar bola,
tapi masih kubawa, kujaga,
hanya untuk menghormati kalian, angkatan keren tak terkira.

~ditemani kelap-kelip panah, 241211~

Jumat, 23 Desember 2011

Purnama

Mengapa bulan jauh lebih besar pada saat muncul dan terbenam, dibanding ukurannya ketika sedang di puncak langit?

Praktis hampir semua orang pernah menyaksikan keganjilan ini entah kapan. Ketika bulan sedang rendah, dekat cakrawala, ia tampak besar dibanding penampilannya beberapa jam kemudian ketika posisinya berada di atas kepala. Efek ini terlihat lebih jelas lagi saat bulan sedang purnama, begitulah setidaknya kata mbah wolke.

Pasti sudah sering kan melihat situasi ini? Orang sudah penasaran sejak jaman tidak enak dulu. Beberapa mengajukan teori, yang kata Mbah Wolke tidak masuk akal. Katanya, "Jika ini semata-mata masalah fisika, tentu orang sudah akan mengetahui penjelasannya secara pasti sekarang." Nyatanya? simpang siur. Simbah melanjutkan argumennya, "ini hanya masalah persepsi manusia." Kawan, jika kita membicarakan yang sudah terbukti, itu tentu tentang bulan yang tidak pernah berubah ukuran. Ia takkan membesar, mengecil lalu membesar lagi seenaknya. Ia adalah satelit yang mengorbit bumi, dan tidak berubah ukuran bahkan ketika berada di cakrawala sekalipun.

Maka ayo kita bahas tentang teori-teori yang ada. Tapi sebelumnya mari mengamati. Tunggu bulan purnama datang (sebenernya nggak harus purnama sih, tapi bakal lebih asik nek pas fullmoon). Nah, amati bulan saat ada di cakrawala. Kalau perlu cari tempat tinggi dimana horizon bisa terlihat. Lalu keluarkan penggaris, julurkan sepanjang lengan terulur, pegang tegak lurus. Ukurlah diameter bulan saat itu. Kata simbah sih mungkin itu sekitar 12 milimeter, aku sih belum mencoba, hehe. Selanjutnya tunggu sampai bulan berada di atasmu, tampak lebih kecil daripada saat di cakrawala bukan? Tapi ukurlah lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Bukankah hasil pengukurannya sama? Contoh simpel lain bisa didapat dengan foto. Biasanya orang berkata, "Sumpah, bulan yang kulihat lebih besar dari yang ada di foto ini!" Malu lah. Masa' mata kalah dengan kamera.

Sekarang ke teori. "Ketika bulan berada di posisi rendah, kita membandingkannya dengan bangunan, pepohonan, dll. Maka ia terlihat besar" kata paijo. Tapi bahkan ketika kita melihat bulan di cakrawala, anggaplah laut yang tanpa pembanding apapun disana,  bulan masih terlihat besar. Sepertinya kamu salah Jo. "Udara semakin bawah semakin banyak. Ketika kita melihat bulan di cakrawala, kita melihat melalui udara yang lebih banyak daripada saat melihat ke atas" sahut Panjul. Sori Njul, udara memang mendistorsi, tapi takkan mengubah ukuran. "Melihat cakrawala berarti melihat lurus (normal), sedangkan melihat atas membuat mata kita agak menyipit. Itu membuat..." bla bla bla.
"Omong kosong," kata Mbah Wolke.

Baiklah mbah, mari ke teorimu. Sekali lagi kuulangi kata-kata mbah wolke,"Jika ini masalah fisika, tentu buyut-buyutmu sudah tahu dari dulu. Tapi bukan fisika, ini tentang persepsi." Psikolog yang mempelajari persepsi manusia punya teori yang cukup meyakinkan.

Teori pertama begini. Sejak kita masih imut-imut pun kita sudah memahami bahwa benda yang mendekati kita itu akan tampak semakin besar. Disini kutulis persis saja ya, aku kurang begitu paham. Bayangkan pesawat yang mendekat, atau bola yang ditendang mendekati kita. Mereka akan terlihat semakin besar. Tetapi bulan tampaknya melanggar semua aturan itu; saat bulan bergerak di atas kita bulan tidak menjadi semakin dekat dan karena itu tidak menjadi lebih besar. Maka otak menafsirkannya sebagai sangat "kecil", dan itulah kesimpulan yang kita tarik. Jadi bukan bulan di horizon yang terlihat besar, tapi bulan yang di atas lah yang terlihat kecil.

Teori kedua bermula dari keterbatasan manusia. Karena tidak mampu menangkap gagasan soal ketidakterbatasan, maka tanpa pikir panjang manusia membayangkan langit punya batas. Kita masih menyimpan kesan bahwa langit itu berbentuk kubah. Selanjutnya kutulis persis saja, aku tidak terlalu paham juga. Kita mungkin merasakan bahwa tepi kubah yang menyentuh cakrawala terletak lebih jauh daripada titik di puncak kubah yang sama. Kita menganggap langit sebagai kubah yang agak dangkal hanya karena lebih nyaman demikian. Mengapa? Pengalaman kita selalu memberitahukan bahwa cakrawala jauh sekali, tapi tidak ada petunjuk atau pertanda apapun yang menyatakan bahwa puncak langit juga jauh sekali. Jadi, ketika bulan dekat cakrawala, kita secara tidak sadar mengasumsikan bahwa batas langit di sana lebih jauh daripada ketika bulan berada di atas kepala. Pengalaman visual mengatakan, makin jauh berarti makin kecil. Maka meski rembulan tidak menggubris harapan kita dengan tetap berukuran seperti biasanya kendati sedang berada di cakrawala yang "sangat jauh", otak kita mengatakan, "Wow!Makhluk di sana pastilah besar sekali." Maka itulah kesan yang kita dapatkan. "Penjelasan terakhir lebih masuk akal" kata mbah Wolke.

Aku sih tidak paham, haha.

What Einstein Told His Barber--161--

Jurang

Hari ini, sabtu 10 desember 2011, semaranglah tujuanku. Asyik juga bisa jalan-jalan di sela-sela waktu kuliah. Sebenarnya aku hanya menemani Mbahku yang sudah di jogja seminggu. Beliau sekarang balik ke semarang, ke tempat lekku. Karena bapak ibuku sibuk, maka akulah yang akhirnya menemani Mbahku pulang. Dan disinilah aku sekarang, duduk bersama Mbah di kursi paling belakang travel jogja-semarang. Cukup nyaman. Bagaimana tidak, travel yang muat untuk 8 orang ini hanya terisi 4 orang termasuk kami. Sungguh beruntung.

Mungkin itu sekitar jam 12.30 ketika aku sedang semangat mencari rumah salah satu teman SMAku. Pringsurat rumahnya, disekitar jalan yang baru kulalui. Kuamati tiap rumah yang kulalui, berharap ada tanda-tanda. Sebenarnya sih sia-sia saja, toh yang kutahu hanya bahwa rumahnya di pringsurat. Padahal pringsurat itu kecamatan (sepertinya). "Haha, sudahlah" pikirku. Aku kembali beristirahat.

"Jalan raya ambarawa-magelang", sebuah plang restoran memberitahu keberadaanku. Perkampungan di sisi jalan lenyap, kini berganti jurang dan pepohonan. Asyik memandangnya, sekilas kulihat ada rumah makan kecil di kanan jalan. Ia rasanya tak asing bagiku. Kubuka lembaran buku masalaluku. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengingatnya. Ah, tentusaja, itu rumah makan yang pernah menyambutku saat aku kelas 4 sd. Saat itu aku bersama beberapa temanku dan ustadzku pergi ke Kudus. Kami mewakili Sdit Luqman Al-Hakim dalam olimpiade JSIT seDIY-Jateng-Jatim kalau tidak salah. Kebetulan aku waktu itu menjadi wakil di bidang matematika. Sayang aku gagal merebut juara. Tentang rumah makan tadi, ia kami singgahi saat perjalanan pulang. Sudah gelap waktu itu. Aku ingat saat temanku muntah ketika ia diberitahu bahwa yang dimakannya adalah jengkol. Padahal sebelumnya ia baik-baik saja. Lucu juga, haha.

Begitulah, beruntung bagi kita jika kenangan manis kita tersebar dimana-mana. Tak salah jika imam Syafi'i menyuruh kita merantau. Maka merantaulah An!

~sambil makan dorayaki di travel, 101211~

btw aku suka dorayaki. Enak ternyata.

Kelap kelip... Planet di Langit?

Mengapa bintang berkelap-kelip?

Jawaban yg kita peroleh dimana-mana adalah kelap-kelip itu disebabkan turbulensi di atmosfer, proses yg mendistorsi cahaya bintang. Tapi jawaban itu tak menjelaskan mengapa, bahkan tak menjawab pertanyaan sederhana mengapa hanya bintang yang berkelap kelip, sedangkan planet-planet atau lampu pesawat terbang tidak.

Turbulensi udara tidak menimbulkan pengaruh apapun pada gelombang cahaya. Yang mendistorsi gelombang cahaya adalah perbedaan temperatur. Mungkin ada teori tentang refraksi cahaya ketika memasuki medium transparan, layaknya kinerja sepasang plastik/kaca transparan didepan mata sebagian dari kita. Sayangnya refraksi cahaya karena udara lebih sedikit dari kaca. Teori itu saja kurang. Maka sekali lagi jawaban kembali ke tmpratur.

Udara hangat mmbelokkan cahaya lebih sedikit daripada udara sejuk. Walaupun atom-atom dlm udara hangat atau udara sejuk sama saja, di udara hangat kerapatan mereka lebih rendah. Maka mereka kurang kompak membelokkan cahaya. Sekarang, bintang manapun (kcuali mthr) terletak begitu jauh sehingga kita hanya melihatnya sebagai titik tunggal yg sempurna di langit, titik geometris tanpa ukuran sama sekali, bahkan ketika diamati menggunakan teleskop paling kuat. Seakan sang bintang hanya mengirim satu berkas tunggal cahaya kpd kita. Ktika berkas cahaya itu sampai mata melalui atmosfer, berkas itu meliuk dan terhamburkan ketika melewati udara dgn beragam temperatur dan kekuatan pembelokan. Tiap kali cahaya terhamburkan, utk sekejap seolah bintang menghilang dr pandangan. Saat berkas yg sama terpencar lagi ke mata kita, ia tampak lagi.
Itulah kelapkelip bintang.

Untuk objek tampak besar seperti matahari atau bulan, penghamburan tsb tidak berpengaruh. Berkas yg terbelokkan ke mata sama bnyk dgn berkas yg terbelokkan menjauhi mata, maka citra yg tertangkap terlihat ajeg.

Planet tampak seperti bintang, pdhl bukan. Binocular pun melihat mrka sbgai piringan. Tak berkelap-kelipnya planet pun sama. Slain itu, twinkle twinkle little planet rasanya kurg bersajak.

Rabu, 23 November 2011

Tentang Berbicara

Dan seorang cendikiawan berkata, "Bicaralah tentang berbicara." Dan ia menjawab, berkata: "kau bicara ketika kau mengejar rasa damai dengan pikiranmu: Dan ketika kau tidak mampi lagi hidup dalam kesendirian hatimu, hidup dalam bibirmu, dan suara adalah perubahan masa lalu."

"Dan banyak dalam bicaramu, pikiran telah setengah dibunuh. Karena pikiran adalah burung dari jarak, yang berada dalam sangkar kata-kata yang dapat membuka sayapnya namun tak dapat terbang. Banyak di antara kamu yang mencari si cerewet melalui ketakutan untuk sendirian. Kesunyian kesendirian menyingkapkan ketelanjangan di depan matanya, dan mereka akan melarikan diri."

"Dan ada di antara mereka yang berbicara, dan tanpa pengetahuan menyingkapkan kebenaran yang sebenarnya tidak mereka pahami. Dan ada di antara mereka yang memiliki kebenaran dalam diri mereka, tetapi mereka tidak mengatakannya dalam kata-kata. Dalam hati merekalah jiwa seperti ini tinggal dalam kesunyian berirama."

"Ketika kau bertemu dengan temanmu di sisi jalan dekat pasar, biarkan semangat dalam dirimu menggerakkan bibir dan mengarahkan lidahmu. Biarkan suara dalam suaramu berbicara pada telinga dari telinganya. Karena jiwanya akan menyimpan kebenaran hatimu seperti rasa anggur teringat selalu. Ketika warna terlupakan dan tidak ada lagi kapal."

_Kahlil Gibran: Bahasa Cinta-Mu

Selasa, 15 November 2011

Tega


Pernah punya barang kesayangan? Tentu jawabanmu pernah. Aku pun pernah. Kali ini tentang sepatu. Aku tidak tahu harus menyebut sepatuku ini benda kesayangan atau apa. Tapi yang jelas ketika sepatuku masih ada, aku selalu mendahulukan memakai sepatuku yang satu ini dibandingkan dengan sepatuku yang lainnya. Aku memiliki tiga pasang sepatu waktu itu. Satu kebesaran, tak pernah kupakai. Satu lagi sepatuku yang telah berumur empat tahun, tapi masih bagus. Yang terakhir adalah si putih kesayanganku.

 Sejarah perawatan sepatuku memang cukup memuaskan. Sejak SMP aku memiliki paling tidak dua sepatu(saat SD aku tidak pakai sepatu kets). Dua pasang itu bukan berarti boros, justru itu malah irit. Strategiku yaitu selalu berganti sepatu tiap hari. Itu membuat sepatuku awet. Jarang sepatuku sakit. Jika sakit pun pasti bisa diobati di UGD. Jangan kira aku bercanda. Di dekat rumahku yang dulu memang ada UGD khusus tas dan sepatu. Kualitasnya pun terbukti dengan pelanggan yang selalu membludak. Sepatu atau tas yang sakit setidaknya harus menginap dua hari di sana, hanya karena harus mengantri. Padahal dokter di sana setahuku ada empat. Laris bukan? Itulah mengapa sepatuku selalu sehat.

Kebiasaanku berganti sepatu tiap hari akhirnya berhenti juga. Semua bermula ketika salah satu sepatuku yang kugunakan sejak SMP sudah tidak muat lagi. Dia harus pensiun, aku harus mencari pemain pengganti. Kebetulan saat itu aku sedang fokus di sekolah. Maka aku memasrahkan pemain pengganti itu pada ibuku. Aku hanya berpesan ukuranku 44. Akhirnya suatu sore kulihat sebuah boks sepatu baru. Tentu langsung kubuka. Putih! Kaget juga aku waktu itu. Maklum, aku selama ini selalu memilih sepatu berwarna gelap, sesuai dengan kulitku kan. Haha. Tapi tak apa, toh aku sudah memercayakan sang pengganti pada ibuku. Ternyata Si Putih lah yang terpiilih. Okelah kalau begitu.

Debut kami bukan berarti langsung dimulai hari itu. Kebiasaanku lah untuk tidak memakai apa yang masih baru. Setidaknya selama dua minggu ia kubiarkan tak tersentuh. Selama itu kugunakan sepatu SMP ku yang sampai sekarang masih awet. Jujur aku canggung memakai Si Putih. Ia terlihat terlalu mancolok, terlalu kontras dengan aku. Akhirnya suatu hari kugunakan sepatu putihku itu saat sekolah. Seperti dugaanku, beberapa temanku langsung melihatnya. Si putih ini memang tak bisa kusembunyikan. Seperti layaknya sepatu baru lainnya, si putih selalu di ajak bermain oleh sepatu temanku, dianiaya tepatnya. Tak punya salah, kami sering diburu kemana-mana. “Kenalan dulu,” kata mereka. Akhirnya debut pertamanya di teladan berakhir dengan sedikit noda hitam padanya. Kasihan sekali SI Putih.

Kami semakin kompak. Aku tak lagi sungkan bermain dengannya. Meski begitu tiap hari aku selalu membersihkannya. Aku tak ingin dia kotor. Semakin lama, kebiasaanku berganti sepatu punah. Hampir setiap hari Si Putih kugunakan. Apalagi tiap hari kamis, saat kelasku ada jadwal olahraga. Kuakui ia sangat unggul dalam olahraga, terutama futsal. Begitu asyik aku bermain dengannya. Mungkin inilah yang membuat aku dan Putih akrab, kami memiliki kesamaan hobi. Meski si putih bukan sepatu futsal, tapi posturnya benar-benar mirip. Jadilah ia selalu menjadi favoritku saat ada jadwal futsal dalam agendaku. Bahkan seingatku ia tiap hari kupakai, kecuali saat sepatuku itu basah.

Setahun sudah. Si Putih selalu tampak sehat bagiku. Tapi ternyata tidak. Diam-diam ia memendam luka. Sedikit demi sedikit luka itu melebar, sampai akhirnya aku sadar. Si Putih sakit, kepalanya sobek. Langsung ia kumasukkan ke UGD. Kuminta sang dokter menjahit seluruh keliling kakinya. Akhirnya ia sembuh. Alhamdulillah, setidaknya tidak parah. Namun dugaanku salah. Sejak ke UGD itu dia sering bolak-balik sakit. Jahitannya kadang terbuka, solnya semakin menipis. Sepatu itu keluar masuk UGD berkali-kali. Meski begitu Si Putih tetap ingin aku menggunakannya. Maka ia tetap kugunakan, walaupun aku lebih berhati-hati. Saat futsal tak kurasakan perbedaan permainannya walaupun solnya sudah menipis. Asyik sekali bermain futsal dengan si putih. Tapi begitulah, layaknya besi yang memiliki yield point dalam kurva tegangan regangan, sepatuku pun demikian. Bahasa trennya masa uzur, masa tua, rusak. Semakin lama ia semakin bertambah parah. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menggunakannya lagi, kecuali di saat-saat genting. Ia sudah sekarat.

Waktu berlalu, kelas tiga pun sudah mendekati akhir. Ujian-ujianku sudah selesai. Kini tinggal masa santai. Kami, teladan 11, punya rutinitas baru. Futsal! Aku tergoda untuk menggunakan Si Putih setelah lama ia tak kugunakan. Aku tidak tahan lagi. Sepertinya ia juga sangat ingin bermain, seakan rela rusak. Kumantapkan diri bermain futsal dengan si putih. Hari itu, saat spicy punya agenda makan bareng di rumah makan daerah utara, sepatu putih kesayanganku itu kugunakan. Event penting, si putih harus ikut. Apalagi ada futsal. Tapi tak kusangka, pada sebuah tendangan, ahh,,, tak bisa kuceritakan. Aku lupa tanggal berapa, yang jelas satu hari di Maret 2011 itu menjadi hari terakhirku bersamanya. Ibuku menyuruhku membuangnya. Tak akan, kataku. Tak akan, sebelum aku benar-benar tahu dia sudah mati. Aku menunggu tukang sol sepatu lewat di depan rumahku. Biasanya sih hari ahad.

Takdir ternyata berbeda. Suatu sore sepulang sekolah kulihat rak sepatuku. Si Putih tak di tempatnya. Kucari ia, tak ketemu. Kutanya ayahku, tak tahu. Adikku juga tak tahu. Kini ibuku. Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. “Tadi ibuk buang, wong udah nggak bisa dipake gitu kok”. Teganya, aku pasrah. Selamat tinggal kawan.

Senin, 14 November 2011

Rel Tak Berujung

Sudah hampir jam tujuh pagi aku baru selesai mandi. Ujianku jam setengah delapan. Yah, malas ternyata merugikan. Perjalananku setidaknya memakan waktu 20 menit. Maka selang beberapa menit aku langsung pamit, tak lupa mohon doa beliau berdua.

Dua ratus meter berkendara, otakku masih dipenuhi rasa waswas. Semoga jalannya lancar, harapku. Jika kau tahu, rumahku di daerah selatan dekat XT Square. Jalan tercepat ke kampus tentu menyusuri kali mambu. Belum satu menit di jalan itu tiba-tiba aku tersadar. Bukan apa-apa, hanya sebuah syukur yang tiba-tiba muncul. Pagi yang cerah, merapi merbabu terlihat indah. Segala pikiran waswasku lenyap, berganti dengan sebuah ketenangan yang menentramkan. Jadilah mereka viewku sepanjang perjalanan karena aku memang mengarah ke utara. Betapa beruntungnya aku.

Setengah perjalanan sudah. Inilah salah satu tempat favoritku dalam perjalanan, jembatan layang. Ada yang berbeda. Rutinitasku menoleh kanan/kiri saat melintas puncak jembatan seakan sudah menjadi kebiasaan. Semua bermula ketika aku harus les ELTI di sore hari. Setengah enam mulainya. Aku selalu berangkat mepet. Sering terlambat malah. Nah, ternyata semakin lama aku semakin sadar bahwa terlambat kadang menyenangkan, walaupun hanya sesaat. Karena terlambat itu lah aku bisa melihat lempuyangan dengan rel kereta tak berujung plus background matahari terbenam. Langit merah yang indah. Itulah sensasi terlambatku (apa sensasimu? halah). Itu pulalah yang menjadi awal kebiasaanku menoleh di atas jembatan layang. Memang sebentar, paling banter hanya sepuluh detik, itupun jika beruntung. Tapi tak bisa kubantah, detik-detik itu luar biasa.

Mataku kembali ke merapi. Itukah puncak yang baru? Terlihat berbeda. Mungkin hanya perasaanku saja. Di Jembatan layang itu merapi dan merbabu terlihat jelas sekali, membuat pikiranku melayang ke ruangan 311(atau 310 ya?) dulu. Aku tak betah berdiam diri dalam keadaan duduk dan menatap satu tempat dalam waktu yang lama. Contohnya saat ujian. Tak kuat aku melihat kertas selama dua jam penuh. Maka jika tak beruntung, saat posisiku ada di tengah kelas, kadang aku hanya memandang langit-langit. Tentu jika disuruh memilih, meja paling pojok dekat jendela menjadi tempat kesukaanku. Apalagi di ruang 311 bagian utara. Di sana lah merapi kerap terlihat. Entah mengapa, aku hanya merasa damai saat melihat hal-hal semacam itu.. View yang seakan menjadi penetral saat marah, dan penyegar saat penat.

Semua bermula dari perjalanan yang terlambat. Perjalanan dua puluh menit itu ternyata telah di plot menjadi penyejuk memori menjelang ujianku pagi tadi.

~uts semester1~

Senin, 14 november 2011. Pagi ini aku kuliah jam 7. Merapi seperti pindah tempat, begeser ke timur. Atau mungkin aku yang ngelindur?

Sabtu, 12 November 2011

Kami Berbaring, Tak Ada Lagi Kata

Malam itu aku menginap di pinggir pantai, di rumah Paijo maksudku, di daerah pesisir. Kami berlima(bener ra yo? lali aku), Sebut saja Paijo, Legimin, Kliwon, Ponijo, dan aku sendiri. Sebenarnya sabtu itu h-2 ujian mid semester. Entah apa yang ada di benakku dan teman-temanku sehingga kami bukannya belajar di rumah, tapi malah rela menghabiskan satu jam perjalanan jauh ke selatan. Kami tiba di sana saat isya’. Perjalanan yang melelahkan. Agenda kami malam itu belajar. Terlaksana, walau hanya 1 jam. Godaan untuk mengobrol ternyata sangat besar. Parah! Jam 9 mata kami sudah berat. Sungguh menggiurkan kasur itu. Akhirnya satu persatu temanku mulai berbaring. Tapi seperti biasa, jika sudah pada posisi ini kami selalu punya bahan bercerita. Sesi mendengarkan yang asyik bagiku.

Temanku Kliwon tertidur, disusul Paijo. Aku masih mendengarkan kedua temanku Ponijo dan Legimin bercerita. Ternyata si Kliwon belum sepenuhnya tertidur, terkadang dia menanggapi apa yang kami ceritakan. Tiba-tiba Kliwon berdiri, mau sholat katanya. Dia turun, mencari kamar mandi. Tak lama kemudian Kliwon kembali. Kami masih asyik bercerita. Kliwon menggelar sajadah, lalu memulai sholat. “Kiblat orang mengantuk ternyata bisa berubah ya,” pikirku. Detik itu juga kami heboh, tertawa selepas-lepasnya. Sampai perutku sakit rasanya. Satu lagi yang konyol, namun sepertinya tak layak kuceritakan di sini. Yasudah, lupakan.

Semua sudah tertidur, tapi bukan aku. Di saat-saat seperti ini kelima inderaku semakin sensitif. Sayup-sayup kudengar suara gamelan. Jauh, suaranya sangat jauh. Merinding aku dibuatnya. Bayangkan saja, sudah diatas jam 11, di rumah yang dikelilingi kebun penuh pohon, tanpa penerangan sedikit pun, membuat pikiranku melayang kemana-mana. Dalam pikiran-pikiran seperti itu, dengan beragam kekhawatiran tentang ujian mid semester lusa, entah bagaimana akhirnya aku tertidur.

“Iyuung!!!” keheningan terpecahkan oleh suara si Paijo. Mimpiku buyar. Aku, Kliwon, dan Legimin bangun serentak, bereaksi dengan gerakan yang identik. Kulihat temanku Paijo menggeliat memegang kakinya, kesakitan. Tampaknya dia kram. “Sudah biasa,” katanya. Sempat kami tertawa, mereka ulang kejadian luar biasa malam itu. Gila saja, saat itu dini hari kawan. Entah jam berapa, tapi kutahu itu belum pagi. Ah, terserah lah. Aku lebih tertarik pada bantal di belakangku. Tampaknya teman-temanku pun sepikiran. Kami berbaring, tak ada lagi kata. Saat itu aku sadar, di luar hujan.

~Jogja larut malam071111~

Minggu, 06 November 2011

But If I Fail I Try Again, and Again, and Again


But there’s sometime in life where you fall down,
And you feel like you don’t have strength to get back up.
Do you think you have hope?
Because I tell you, I’m down here, face down,
And I have no arms and no legs.
It should be impossible for me to get back up,
But it’s not!
You see, I’ll try one hundred times to get up,
And if I fail one hundred times,
If I fail, and I give up, do you think then I’m gonna get back up?
No!
But if I fail I try again, and again, and again.
But I just want you to know that it’s not the end.
It matters how you gonna finish,
Are you gonna finish strong?
And you’ll find that street to get back up, like this.


_nick vujicic

Minggu, 23 Oktober 2011

Pelajaran dari Langit

Tampaknya langit bisa memberi pelajaran,

rabu280911, 16.00 di lapvol JTMI.. Kala itu aku dan teman2ku mendapat cukup banyak tugas dari Mechanical Explorer 2011, ospek prodiku. Jangka waktu pengerjaan hanya 2hari 3malam. Setidaknya tiap hari aku harus menghabiskan setengah malam untuk mengerjakan tugas itu.

Rabu malam di perjalanan pulang, sempat kuamati langit itu. Cerah, sangat cerah. Bulan tipis, Tanda awal dzulqa'dah. Bintang pun bertebaran indah. Damai rasanya.

Ahad021011, hari kedua mecex2011 telah kuselesaikan. Tugas baru dari mecex menumpuk, ditengah beberapa tugas kuliah yang kudapat. Kini waktu pengerjaannya 6 hari, tugasnya pun dua kali lipat dari yg kemarin. Pasti seminggu tidur malam lagi. Setelah kumpul angkatan, sholat isya' di mustek, aku pulang. Lagi, kuperhatikan langit. Tetap bersih. Kulihat bulan sabit, dia seakan tersenyum padaku. Harmoni, cahayanya tak menghalangiku melihat bintang yang bertebaran. Menentramkan.

Sabtu081011, hari ke3 mecex 2011. Sudah sore, mungkin sekitar jam 4. Di depan kantin Jtmi, aku dan teman-temanku duduk rapi per kelompok. Kami punya waktu 3 menit untuk menghabiskan roti pisang. Aku tahu jadwal setelah itu. Pasti evaluasi, sesi paling pahit di mecex. Sambil makan, kubayangkan bagaimana evaluasi itu. Lalu tak sengaja pandanganku beralih ke langit barat. Sebuah view yang mempesona, langit biru, sebagian sudah kemerahan, awan berjejer membentuk pola teratur. Paduan unsur yang saling melengkapi.

Di saat-saat seperti itu, aku merasa langit berbicara padaku. Seakan-akan dia mengatakan, "Jangan menyerah! Ayo, Lakukan yang terbaik! tersenyumlah! Ikhlaslah! Kamu pasti bisa An! Damaikan pikiranmu, tenangkan hatimu, lalu lakukan sebisamu!". Seperti itulah yang kubayangkan. Konyol mungkin, tapi itulah yang membuatku semangat. Memenuhi pikiranku dengan hal-hal positif.

Begitulah. Aku selalu berusaha mencari motivasi, inspirasi, ataupun penyemangat. Dan harus kukatakan, aku sering belajar dari langit.

_di masa-masa mecexku

Menyesal

Mungkin teman pernah tahu bahwa aku dulu ingin melanjutkan studi ke gontor setelah tamat sd. Tekadku cukup bulat waktu itu. Hanya saja ibuku kurang setuju dengannya. Buntutnya jelas. Sebandel apapun aku, kata-kata ortu tak mungkin kuabaikan begitu saja. Maka kuurungkan niatku. Lalu aku mendaftar di pawitikra. Tebak lah sendiri apa yang kudapat disana.

Pernah suatu kali temanku bercerita. Awalnya dia setengah hati masuk sma teladan. "hatiku tertinggal di sma lain," mungkin seperti itu kata-katanyanya. Meski begitu, hari demi hari tetap dia lalui. Tahun pertama terlewati, menyusul tahun kedua, hingga suatu saat dia bercerita lagi, "alhamdulillah. Beruntungnya aku bersekolah di teladan."

TONTI menjadi pilihanku di awal masa open recruitment organisasi yang ada di teladan. Entah apa alasanku. Bodohnya jika memilih tanpa alasan yang jelas. Tapi itulah aku, dulu. Perlu kuberitahu bahwa 3 bulan pertama di tonti diisi full dengan latihan. Tak tanggung-tanggung, 6 hari tiap minggu. Berpanas-panas disaat yang lain berteduh, berkeringat disaat yang lain bersantai, akhirnya membuatku ada pada titik jenuh. Sempat kusesali, walaupun terus kujalani. Sekarang semua itu kusyukuri, sebagai salah satu nikmat yang tak ada duanya, dengan rangkaian pengalaman yang tak terganti.

Di awal kelas dua, aku mendapat amanah sebagai koor acara hut. Lagi, aku tak tahu bagaimana aku bisa menerima amanah seberat itu. Aku merasa bahwa disana aku menjadi beban bagi teman-temanku di sie acara. Sepertinya kenyataannya pun memang begitu. Penyesalan, suara negatif kadang berkumandang di hatiku, hingga di akhir masa kepanitiaan aku sadar, banyak hal kudapatkan dari mereka. Aku tahu bahwa Allah memang memberiku kesempatan belajar dari mereka, sie acara. Saat rangkaian acara berakhir, aku bersyukur pernah menjadi bagian dari mereka.

Gvt2010, entah bagaimana aku bisa menjadi kopan ke4. Awalnya sih iya iya saja. Toh temannya banyak, pikirku. Di awal perjalanan, sempat kusesalkan suatu hal. Yang jelas aku merasa rugi menjadi kopan waktu itu. Waktu berputar. Ternyata disana aku bertemu dengan banyak orang hebat. Terlalu banyak ilmu yang ada disana. Bahkan silaturrahimnya sangat kokoh. Kini kukatakan, pansus adalah salah satu bagian yang paling kusyukuri di teladan.

Begitulah teman. Ada kalanya suatu pilihan membuat kita menyesal. Ada kalanya pikiran negatif menyertai kita pada pilihan itu. Tapi, selama pilihan itu baik, ayo hilangkan sesal, lenyapkan pikiran negatif, dan lakukan maksimal. Ikhlas. Maka suatu saat nanti sesal itu akan menjadi syukur.
Husnudzan, karena Allah adalah sebaik-baik sutradara.

~dibawah purnama dzulqa'dah~

Kaki Gunung

Asyik sepertinya jika jadi ibuku. Kala beliau bercerita, sering kubayangkan masa kecil beliau.. Tinggal di kaki gunung, dengan alam dan lingkungan yang asri, hawa dingin yg menusuk, sungguh sebuah sensasi bagiku. Belum lagi tentang orang-orang di kampung beliau yg rata-rata masih terikat hubungan saudara. Keadaan yang sudah pasti sangat langka, apalagi di kota besar seperti tempat tinggalku.

Tiga hal yg sebenarnya kudambakan dari pengalaman beliau. Pertama mengenai kesempatan bermain di alam bebas. Desa, kaki gunung seperti itu, pasti melimpah ruah alam asrinya. Bermain di sana pasti lumrah. Sementara masakecilku, hah, sawah saja jarang dapatnya. Hahaha.

Kedua tentang pendidikan. Tentu soal fasilitas era ku menang. Tapi bukan itu saja yang kucari. Akhir-akhir ini aku mendambakan kemandirian, salah satunya dalam bentuk menjadi anak kos. Dan sepertinya 4 tahun kedepan pun aku belum bisa merasakan itu. Tapi okelah, akan kucari kesempatan yang lebih baik kelak. Beliau berbeda, sma saja sudah nglaju padahal masih tahun 79. Kuliah? jangan ditanya. Jogja sudah menyambut beliau di umur yang masih hijau. Tak mudah, pasti ibu sering tertempa masalah. Tapi justru itulah pisau yang tajam terasah. Aku? Entah seperti apa.

Ketiga, yang paling kurindukan, lagi2 sebuah tali. Tali persaudaraan. Kuamati, tali persaudaraan ibuku sangat erat. Bahkan pada titik terjauh pun masih melekat erat. Menurutku ini karena sekampung sedarah, atau mungkin ada alasan lain. Yang jelas aku rindu. Memang banyak saudara kutemui, tapi disana lidahku kelu. Seakan bertemu orang asing. Maka aku selalu ingin melihat keakraban antara ibuku dgn saudara jauhnya pada diriku dgn saudara jauhku. Entah kapan itu terwujud.

010911 22.45
ngempon

Poin

Bukan menjadi kebiasaanku belajar. Seingatku sejak SD aku termasuk malas. Bahkan karena kemalasanku, aku baru bisa lancar membaca di kelas dua. Saat kelas satu, kemampuanku masih sebatas be oo bo-el aa la, bola. Ya, baru semacam itu. Tentu hanya kubaca di dalam hati. Aku malu dengan teman-temanku yang rata-rata sudah pandai membaca.

Ketika itu aku masih kelas empat SD. Dalam sebuah ujian tengah semester, aku ingat betul nilai matematikaku 30. Bagus, sangat bagus. Tentu ibuku bersuara. Entah apa yang beliau katakan dulu. Aku hanya ingat bahwa setelah nilai 30 itu ibuku membeli semacam LKS yang berisi soal-soal. Bukan main-main, buku itu cukup tebal. Dua ratusan halaman kuyakin ada. Hebatnya, aku yang dulu berhasil menyelesaikan soal-soal itu dalam waktu kurang dari satu bulan. Kalau aku yang sekarang sih sepertinya tak kan secepat itu. Maka, sejak nilai 30ku itu, sejak latihan soal-soal itu, nilaiku meningkat drastis.

Ibuku lah yang mendominasi dalam bidang pengawasan akademikku. Beliau sering bertanya tentang nilai, jadwal ulangan, jadwal ujian dan sebagainya. Beliau juga lah yang sangat ngotot memasukkanku ke salah satu bimbel bahasa inggris kala aku SMP. Bapakku berbeda. Hampir tak pernah beliau bertanya tentang ulangan, jadwal ujian, atau hal-hal yang berbau seperti itu. Bahkan, bila tak kuberitahu, mungkin beliau tak tahu saat aku sedang mid semester. Tapi bukan berarti beliau tak peduli. Temukan cara belajarmu. Itulah yang lebih Bapak ajarkan padaku. saat membicarakan tentang akademik, pesan itulah yang sangat sering beliau sampaikan. Ujung-ujungnya hanya pada dua kata, cara belajar. Tak sepenuhnya kumengerti sebenarnya. Apalagi saat aku SD. Senjataku hanya manthuk-manthuk.

Masa sadar akademikku mungkin SMP. Satu minggu ada enam hari, semua tahu itu. Hari ahad tak kuhitung, kan sekolah libur. Wkwk. Tiap hari dalam satu minggu itu beragam. Teman-temanku mengisinya dengan les renang, main, les komputer, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Nah, dalam kegiatan-kegiatan yang menuntut waktu lebih itu, bisa jadi tugas menumpuk. Kadang satu hari yang 24 jam itu terasa hanya 12 jam. Stres. Tapi aku tidak. Tugas untuk satu minggu kukerjakan di hari ahad. Aku yang saat itu agak rajin. Di masa-masa SMP itu pula lah aku menemukan seperti apa tipeku. Aku suka mendengarkan, dan untuk paham, aku harus menulis. Aku suka belajar dari tulisanku. Dan karena itulah, separah apapun situasi kelas, semelempem apapun moodku, kuusahakan catatanku lengkap. Mungkin bapakku menyebut temukan cara belajarmu, aku lebih suka mengatakan temukan tipemu.

Pegangan sudah kudapat. Aku tahu seperti apa aku. Masa SMA memang menuntut lebih banyak belajar mandiri, karena aku sering tidak fokus di kelas. Prinsipku aku harus menulis, urusan paham atau tidak, terserah. Tiga tahun di sana kuakui aku malas, aku hanya rajin di kelas. Belajar? Hanya beberapa minggu sebelum ujian. PR? H-1 baru nggarap. Tak serajin SMP. Tapi catatanku masih lengkap. Sedikit perbedaanku disini, aku sering mencari motivasi. Biasanya saat motivasi itu datang, belajarku tak terbendung. Tapi tentu itu jarang-jarang. Sekarang bisa kusimpulkan aku di SMA. Maksimalkan waktumu di kelas. Catat apapun yang dijelaskan guru. Sadar ujian lebih dulu dari yang lain.

Di kelas tiga, karena semua sudah dalam masa sadar ujian, aku harus mencari nilai tambah lain. Ternyata tak perlu kucari. Aku memang beruntung. Mungkin catatanku yang lengkap, mungkin dianggap rajin, jadi lah aku sering diajak belajar teman. Padahal tak jarang aku malas. Yah, mau apa lagi. Mau tak mau ya harus mau. Belajar kelompok akhirnya jadi senjataku. Belajar, aktivitas yang kuberi label nomer satu di kolom kemalasan, kujalani rutin. Tentu dengan bantuan teman. Di sisi lain aku masih sering mencari motivasi. Maka aku mendapat satu poin penting lagi. Temukan lingkungan yang mendukung, karena di sana lah akan kau temukan mutiara, dalam bentuk apapun itu.

Kini aku menapaki masa perkuliahanku. Masih canggung. Masih mencari gaya baru. Usahaku sebatas memegang erat apa yang kudapat sejak SD, berharap akan berhasil kugunakan di masa kuliah. Sambil menanti poin lain yang mungkin kudapat, sepertinya itu cukup.

23102011 22.31

Senin, 26 September 2011

Sebuah Selingan

Tiga hal yang aku pikirkan saat ini, dieng, cct, dan kasur gantung. Hapeku sudah berangka 20.46 saat note ini mulai kutulis. Tiga hal yang ingin kuceritakan. Lebih baik kumulai dari cct dulu.

CCT adalah singkatan dr cross country tonti, semacam outbond (rihlah tepatnya) untuk tonti kelas 2 di sma teladan. Tadi, 250911, adalah hari H cct. Kebetulan ini giliran kami yg menCCT adik2 kelas dua. Tempatnya? Sama dgn cctku dulu, di daerah turi, sleman. Sebuah tempat yg memiliki rute menyenangkan, hanya saja jarak tempuhnya memang cukup jauh. Tadi aku dapat jatah di pos 5, pos refreshing dan pendinginan. Disebut Refreshing karena pos sebelumnya, pos4, adalah pos mental dan fisik yg biasanya bertensi tinggi. Disebut pendinginan karena dua hal. Secara tidak langsung, pos 5 adalah pos penguluran setelah berbagai kegiatan fisik sebelumnya. Sedangkan secara langsung, pos ini mendinginkan, karena peserta akan diberi hadiah "kungkum di air sungai". Ya, rute yg ditempuh memang sungai. Disanalah aku, tempat di mana aku menunggu setiap kelompok peserta dgn membaca buku inspiratif di atas batu, di tengah aliran air sungai yg menenangkan. Sungguh. Semoga kujumpai suasana yg lebih menentramkan kelak.

Kasur gantung, mungkin kalian bingung memikirkan bentuk benda ini, karena aku juga bingung menamainya. Sebenarnya benda ini familiar, sangat familiar malah. Tapi di film. Itu lho, semacam tempat tidur yg digantung di antara 2 pohon, yg biasanya terbuat dari tali dianyam. Tahu kan maksudku? Nah, jarang kulihat benda itu. Tapi, 220911 bapak pulang dari vietnam membawa kasur gantung ini. Entah beli di vietnam atau jakarta, tp itu tak penting. Yang penting, sekarang aku bisa puas melihat langit. Kasur gantung ini kugantungkan di pagar dan tralis jendela, maka disanalah aku sekarang. Kurelakan tiduran diluar begini karena tempat baruku ini. Dan karena malam ini dingin, kugunakan topi kain maling, yg bisa menutupi seluruh kepala. Dari topi itu kuingat...

Dieng. Kubeli topi itu disana. Sekitar dua bulan lalu, ketika bp2ky sekeluarga tour kesana. Mengingatkanku tentang kebun teh di kaki sindoro, tentang penginapan wismanya, tentang dinginnya pagi di tambi..

Kini, 21.31, kusudahi tulisan ini. Sebuah selingan ditengah waktu senggang, hanya sekedar untuk melengkapi buku merahku^_^

~ahad250911, 21.34, di atas kasur gantung, di bawah mendungnya malam~

Minggu, 11 September 2011

Pucang

Hari ini jadwal kami pulang, tapi tertunda karena reuni smp bulikku besok. Maka Jogja berganti payaman. Pakde Ro'i namanya. Berakar-akar saudara, tentu tak mudah mengerti. Kutahu beliau sebatas nama. Hubungan darahnya denganku? Tak kupahami. Memang aku yang pasif. Tanda harus belajar.

Banyak yang menarik dari ujung hari ini. Pucang, payaman, magelang, temanggung, dari pagi sampai malam, delapan rumah kami kunjungi. Satu rumah teman ortu, tujuh lainnya rumah saudara. Dari tujuh itu, satu rumah tak direncanakan. Niat bertanya arah pada orang di pinggir jalan, ternyata yg ditanya masih saudara. Mampirlah kami, tak ada lima menit. Lalu ada yg menarik juga di enam rumah lain. Lima dari enam mengajak kami untuk makan. Ya, makan besar. Agaknya rumah satunya ingin menawarkan pula bila tak terhalang jumatan. Padahal jumlah kami tak tanggung-tanggung, delapan orang.
Memang adat di daerah-daerah itu menjamu dgn makan besar. Dari lima tawaran itu, tiga kami terima. Tiga piring nasi kami dapat. Dua makan siang, satu makan malam. Mungkin jika perut kami sebanyak perut sapi, dua piring di rumah lain bisa kami lahap. Betapa.
Padahal jamuannya sungguh enak. Sederhana tapi penuh citarasa, makanan desa tapi mendunia, nikmat. Jika itu rumahku, jika aku kuat, pasti kuhabiskan semuanya..

Keluarga di Pucang ini salah satunya. Delapan belas tahun umurku, baru satu kali ini aku kesana..
Mbahku (harusnya lek, tapi lebih baik kupanggil mbah), yang putri umurnya 72, yg kakung umurnya 82.. Alhmdulillah beliau berdua sehat. Mbah kakung malah super sehat, umur kepala delapan masih mengendarai motor sendiri. Aktivitas sehari-hari lancar. Subhanallah.

Begitulah. Semuanya saudara jauh, bertahun pun belum tentu bertemu, bahkan beberapa baru pertama kutemui. Tapi sungguh hangat. Ikhlas yang menentramkan tamu. Semoga beliau-beliau dimuliakan Allah, amiin.

Kawan, jika hcl gastrinmu meningkat, cobalah ujung ke mereka.. Pasti lalulintas kardiakmu kan ramai kembali^_^
*tapiesensisilaturrahimtentubukanitu
hahaha

Maka Kini Kuberharap

Tahukah?
Ternyata proses turunnya sang mentari sungguh cepat, 6 menit sudah turun satu kelingking dari sudut pandang berjarak satu lengan..
Hebatnya si merah tetaplah bundar.
Utuh tak tersentuh,
terlihat kecil tapi tak tercuil..
Kini, 11 menit kulihat,
dia menghilang.
Entah sudah tertelan horizon,
atau hanya terabaikn oleh pohon.
Mata sudah tertipu,
tapi hati tetaplah tahu.
Dibalik semua itu,
Engkaulah ya Allah,
Engkaulah sang sutradara.
Mentari tadi indah,
tapi Engkau Maha Indah,,
Di mataku
awan senja pun sangatlah memesona,
padahal Engkaulah yg Maha Segalanya.
Mengingat mentari dan suasananya sungguh menentramkan,
maka mengingatMu pasti ketentraman hakiki..
Maka kini kuberharap,
ketika kuberjalan dijalanMu,
kemauanku kukuh
hatiku teguh
aksiku jauh..
Aku sadar aku terlalu lemah,
maka kuatkanlah ya Rabb,
kokohkanlah hatiku,,
sekokoh mentari yang berlalu tak terhalangi,
sekuat aliran air yang batu sekalipun akan terkikis cair..

~Senja di Kendal 310811~

Minggu, 21 Agustus 2011

Buku pun Ternyata Berbuah Rindu


Kamu pasti tahu kan definisi rindu? Atau mungkin malah tak perlu didefinisikan? Tapi ada satu kalimat, dari temanku, dari kakak kelasku, yang cukup menggambarkan seperti apa rindu itu. “Tak ada yang setia melebihi rindu, ia datang begitu kau pergi”. Wow banget, hahaha. Nah,  jika kau tahu, sekarang aku sedang merasakan sesuatu yang kita sebut sebagai rindu. Poor me! Or i’d rather say, Lucky me!?? Hmm,,

Di kalangan para pujangga, kuyakin kata ini sering menemani dan menginspirasi (pasti pasti temanku yang satu itu ngrasa, haha). Apalagi di usia-usia sepertiku dan kalian, teman. Tak perlu menipu diri. Semua sudah terlalu jelas. Ya, aku sedang membicarakan tentang si dia #mukamerah. Masa remaja punya satu new comer challanger, heart flowerish virus(???), vmj. New comer ini biasanya lebih kuat dari kita, akibatnya kalian tahu lah. Kelam. Batas hubungan ikhwan akhwat seringkali terlanggar. Komunikasi biasanya menonjol di sini. Jika tak percaya, lihatlah kasusku dan dia#mukamerahlagi. Ketika sadar bahwa itu sudah melebihi batas, maka dia mengurangi komunikasi. Dan disini aku meraskan rindu, tapi itu dulu. Sekarang pikiranku sudah sedikit lebih cerah. Tak perlu melanggar batas lagi untuk belajar. Masalalu pun tak perlu dimaki, cukup dimasukkan dalam cv, dijadikan pembelajaran. “Wanita yang buruk bagi lelaki yang buruk, lelaki yang buruk bagi wanita yang buruk, wanita yang baik bagi lelaki yang baik, dan lelaki yang baik bagi wanita yang baik, ...” (An-Nuur : 26). Cukup itu peganganku, maka sekarang tinggal fokus pada memperbaki diri dan memerangi nafsu. Menanti hingga saatnya nanti. Tidak mudah memang, tapi setidaknya alasan rindu yang pertama sudah tererduksi.

Rindu yang kedua biasanya muncul di kalangan anak kos. Mereka datang dari tanah sebrang, merelakan diri jauh dari kampung halaman, semata-mata dengan tujuan menuntut ilmu. Sungguh mulia. Tidak mudah juga. Banyak tantangan di negeri orang. Rindu salah satunya. Entah rindu kampung halaman, rindu orang tua, atau apapun. Yang jelas rindu pasti datang. Itu bagi mereka. Karena aku bukan anak kos, dan karena aku tinggal di rumah ortu, alasan rindu yang kedua pun bukan masalah bagiku.

Yang ketiga tentang sebuah tali kokoh. Tali silaturrahim namanya. Dari sebuah ta’aruf, dilanjutkan tafahum, berkembang menjadi ta’awun, lalu takaful, terakhir itsar. Mereka bukanlah sembarang tahapan, karena dari mereka lah muncul sahabat. Sebuah tali yang takkan terputus oleh apapun, insyaallah. Bulan lalu, sahabat-sahabatku satu per satu pergi melaksanakan petuah Imam Syafi’i. Bandung, Surabaya, Jakarta, entah mana lagi tujuan mereka. Kini jarak terhampar di antara kami. Meskipun kutahu tali persahabatan ini takkan terputus, namun ternyata jarak berakibat pada sebuah rindu. Untungnya ada yang namanya teknologi, maka alasan ketiga juga masih teratasi.

Kini aku dihadapkan pada sebuah rindu yang aneh. Sangat aneh. Rinduku ini tentang sebuah kenangan yang selama tiga tahun terakhir mewarnai masa sekolahku. Masuk akal memang. Tapi media yang memunculkannya sangatlah tidak umum. Buku catatan pelajaran, my exact daily updated diary. Prasasti yang tidak hanya berisikan pelajaran, tapi juga suasana hati, potret ruang kelas, candatawa dengan teman, guru-guru yang hebat dan semua hal yang berbau teladan. Ya, kumpulan buku catatan SMA itulah yang membuatku rindu. Nanti sore aku akan memberikan tujuh belas buku catatan SMA ku itu ke adik kelas. Bukan sesuatu yang penting bagiku yang sudah lulus dari bangku sma. Tapi sungguh mengejutkan, ketika hari ini aku mendapatkan fakta baru, bahwa buku pun ternyata berbuah rindu.
 
  Kamar:15.32:20082011,,,
                                                                

Minggu, 14 Agustus 2011

Hatiku Tak Menerima, Walau Lingkungan Memaksa



Aku ini sungguh kurang ajar. Semauku sendiri. Kalau ada kesempatan enak, langsung kusambar. Giliran kewajiban yang belum terlihat buahnya, kutinggalkan. Aku ingin sukses, tapi tak ingin beratnya proses. Bingung. Indahnya pemandangan di puncak gunung pasti butuh perjuangan di lerengnya, nikmatnya buka puasa tak mungkin lepas dari masalah di siang hati. Aku tahu itu, hanya sekedar tahu. Kusampaikan ilmu itu, kusebarkan pemahamanku tentangnya, kupengaruhi temanku, tapi tak kulakukan. 

Entah bagaimana aku selalu bisa mengelak dari benda pahit yang sebenarnya akan berbuah manis. Malasku terlalu dominan, tak secuil pun memberi ruang untuk rajinku. Lidahku dibuatnya terlalu lentur untuk beralasan. Miris. 

Hal lain yang membuatku lebih heran, dalam keterpurukanku seperti itu aku masih bisa mendapat kepercayaan. Terkadang bahkan penghargaan. Hatiku tak menerima, walau lingkungan memaksa. “Engkau dihormati bukan karena kau hebat, bukan karena kau kompeten, bukan karena apapun, tapi semata-mata hanya karena Allah belum membeberkan keburukan-keburukanmu selama ini”, kurang lebih itu yang kudengar dalam sebuah acara. Memang benar. Sangat benar. Tahukah? Ketika dirimu dianggap baik oleh lingkungan, tapi sebenarnya dirimu buruk, sungguh tak nyaman rasanya. Aku takut nifak. Aku tak mau berada di nerakanya neraka. 

Sungguh, aku ingin berubah.

Jumat, 12 Agustus 2011

Aku Sudah Pindah

           Kami sahabat, aku dan Sulthon. Jelas saja, pagar rumah kami hanya dibatasi oleh sebuah jalan, tak ada yang lain. Belum masuk TK, aku sudah akrab bermain dengannya. Jika hari ini jadwalku main ke rumahnya, berarti besok adalah jadwalnya bermain ke rumahku. Begitulah, hari demi hari kami lalui dengan harmonis, sebagai teman, lebih lagi sebagai sahabat.
           Keluarga Sulthon catur warga. Ayah ibunya kupanggil om dan tante, beliau sepantaran dengan orangtuaku. Om anggota kiai kanjeng, tante bekerja di sebuah perusahaan swasta terkenal. Lalu ada Mbak Ana, kakaknya Sulthon. Jarak umurnya cukup jauh denganku dan Sulthon. Aku tidak tahu pasti, mungkin sekitar 10 tahun. Om, tante, dan Mbak Ana sudah akrab denganku. Keluarga Sulthon tergolong kaya. Rumahnya tingkat dan besar. Bagian atas digunakan sebagai kos putri, ada belasan kamar. Yang bawah untuk keluarganya. Dari taman depan yang minimalis tapi indah, garasi, ruang tamu dengan akuarium berisi ikan arwana, ruang keluarga yang sangat luas dengan segala peralatan elektronik terupdate (termasuk PS waktu itu) dan dihias oleh fountain di dinding kiri, dapur, kamar-kamar, taman belakang, kolam kecil berisi kura-kura, bahkan studio musik pribadi. Maka aku selalu ingin bermain di rumahnya.
            Jadwal kami bermain biasanya sore hari, sekitar ashar sampai maghrib kira-kira. Tentu berbeda jika hari ahad, karena kami pasti bermain seharian. Aku ingat betul hari itu, bangun-bangun aku langsung sholat dan mandi. Mandiku pun terbilang cepat. Lalu aku sarapan sambil menonton tv. Jaman aku SD, ahad benar-benar hari anak. Sejak jam 6 pagi sampai jam 12 siang selalu ada kartun, sungguh nikmat. Tapi hari itu berbeda, TV rumah bukanlah tujuan utamaku. Belum genap jam tujuh langkahku sudah tertuju ke rumah Sulthon. Sebenarnya kalau tidak dihalangi ibuku, aku pasti sudah di depan gerbang rumahnya jam enam tadi.
            Di depan rumahnya bukan berarti bisa langsung masuk. Apalagi kalau pagi. Masalah kami sama, bangun kesiangan. Aku sudah cukup parah sebenarnya, tapi Sulthon lebih parah lagi. Maka jika aku datang jam tujuh, yang membuka gerbangnya pasti bukan dia. Aku sudah hafal. Aku pun masuk ke ruang keluarga. Di sini aku menonton tv, sambil menunggu Sulthon dibangunkan. Beberapa menit kemudian dia menyapaku dengan muka bangun tidurnya, lalu pamit lagi, mandi. Aku tak peduli, yang penting ada tivi. Sungguh kurang ajar aku. Tapi tak apa, anak-anak memang polos.
            Sebenarnya bukan tivi yang kutunggu. PS, apalagi kalau bukan. Aku curiga dengan benda yang satu ini. Entah dukun mana yang dipakai, bisa-bisanya benda ini adiktif. Kalau mulai main jam 10, paling berhentinya duhur. Aku pulang cuma untuk makan dan sholat. Lima belas menit, lalu PS lagi. Adzan ashar baru benar-benar menghentikan kami. Yang unik disini, kami punya sebuah kompetisi hebat. PS berhenti, lomba baru mulai. Start di jalan depan, finish juga disana. Kusebut ini lomba mandi kilat, haha. Ya, aku dan Sulthon harus beradu cepat dalam urusan mandi. Siapa yang muncul di jalan depan lebih dulu, dialah yang menang. Seperti itulah, orangtuaku hanya bisa tersenyum melihat tingkahku. Pasti om dan tante juga. Kadang menang, sering kalah. Begitulah kami. Dasar anak-anak.
            Tiba-tiba aku terbangun. Sebuah istirahat yang membangkitkan kenangan lama, mematri rentetan pengalaman masa kecilku. Sebuah kenangan yang telah tertutupi hampir sepuluh tahun. Tersenyum-senyum sendiri, merangkai puzzle yang baru saja kuimpikan. Sebuah senyuman dengan rasa rindu di dada, dengan bulir air mata di muka. Kini rumah kami tak lagi terpisah oleh jalan. Aku sudah pindah.
                                                *Mimpi dalam tidurku, 12 ramadhan 1432 H*

Senin, 01 Agustus 2011

Lalu Semuanya Bubrah


            Seperti beragamnya buah-buahan, warna-warni sayuran, corak-corak hewan, masing-masing manusia pun berbeda. Sebeda wc dengan anduk, panci dengan kasti, wkwk. Wah wah, geje ini. Yah, tapi inilah yang terbesit di pikiranku sejak tadi malam. Kita tu sama-sama manusia, tapi og ya bedanya banyak banget. Makan juga sama-sama makan nasi, tapi kelakuan juga beda. Tiap hari sama-sama mandi, tapi sifat n kebiasaan lagi-lagi beda. Keren tenan kan.

            Nah, salah satu perbedaan itu terlihat di sini nih kawan. Mungkin kamu bisa langsung tidur di tempat dalam dua detik begitu melihat bantal dan guling terbaring rapi di kasur. Atau mungkin kamu baru bisa tidur kalau sudah berbaring di kasur selama satu menit. Betapa beruntungnya dirimu kalau kamu memang seperti itu. Soalnya ada orang yang berlawanan sekali dengan deskripsi itu. Mungkin kamu mudah tidur mudah bangun, tapi mereka sulit tidur sulit bangun. Kalau kamu berbaring satu menit langsung tidur, mereka mungkin satu jam masih belum tidur. Dan tahukah? Aku termasuk salah satu dari mereka. Wahwah, poor me.

            Gejala sulit tidur sulit bangun ini sudah kurasakan sejak kecil dulu. Jika dalam kondisi biasa, butuh setidaknya satu jam bagiku untuk bisa benar-benar terlelap. Itu masalah pertama. Masih ada lagi. Jika sudah terlelap begitu, aku benar-benar sulit dibangunkan. Entah apa yang membuatku seperti ini, tapi yang jelas ini tidak lah menguntungkan. Rentetan masalah timbul dari kebiasaan tidurku. Kurang tidur, terlambat sholat shubuh, kurang waktu untuk siap-siap beraktivitas, dan masih banyak lagi. Kira-kira ada solusi tidak ya?


            22.05, aku sudah berada di kamar. Lampu sudah mati, bantal dan kasur sudah siap, lalu kurebahkan diriku di sana. Berdoa dalam hati, kucuba untuk tidur. Beberapa aktivitasku hari itu yang masih terbayang di kepalaku langsung kuhapuskan. Kukosongkan pikiran. Kupejamkan mata. Kucari posisi ternyaman yang ada. Lalu aku diam (ceritane iki gek fokus n serius), kuatur nafas dengan perlahan dan konstan. Beberapa menit kulalui dengan tenang. Suasana sangat hening. Detak-detik suara jam dinding kamarku terdengar jelas, begitu pula suara-suara lain. Kudengar suara gerbang rumah bergoyang. Lalu semuanya bubrah. Tiba-tiba, tanpa ada paksaan dari manapun, tanpa ada perintah dariku, terbayang di benakku seekor kucing abu-abu jelek kelebihan lemak sedang berusaha melewati celah-celah sempit di gerbang rumahku. Perutnya yang kelebihan muatan itu dengan terpaksa menyenggol gerbang sehingga menimbulkan getaran audiosonik sekian hertz. Puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan getaran per sekon itu kulihat dalam gerak lambat. Masing-masing getaran memberikan gelombang bunyi yang menyebar ke seluruh penjuru mata angin. Sebagian kecil diantaranya tertangkap oleh daun telingaku. Mereka, yang memang dirancang untuk mengumpulkan gelombang bunyi, langsung memantulkan gelombang-gelombang tersebut ke gendang telingaku. Gendang telingaku bergetar. Kini getaran tersebut telah sampai pada telinga tengahku, menggetarkan tulang martil, yang menyebabkan bergetarnya tulang landasan, pun demikian tulang sanggurdi. Oleh tulang-tulang terkecil di tubuhku tersebut pesan diberikan ke organ korti, tempat mangkal syaraf pendengaranku. Untungnya syaraf bekerja sangat tanggap, pesan elektrik langsung dikirim ke pusat syaraf melalui neuron-neuron konektor. Dendrit-badan sel-akson-dendrit-badan sel-akson, begitu seterusnya hingga mencapai bagian temporal di cerebrumku. Otakku akhirnya menyimpukan sebuah suara yang kukenal sebagai gerbang rumah yang bergoyang. Dan karena itulah mataku kembali terbuka.

            Kucoba cara lain. Kali ini cara klasik, tapi belum pernah kucoba. Apakah itu? Jrengg!!! Domba!!! Bukan dengan cara yang diberikan Mr. Bean, yang kugunakan ini masih metode lompat. Kumulai. Awalnya harus kukerahkan imajinasiku, kusiapkan domba-domba berbulu putih menggulung dan tebal. Dengan setting di padang rumput yang subur, angin semilir, tentulah domba itu berwajah segar. Kuatur agar mereka berbaris rapi di kanan kamera mataku. Domba pertama pun berjalan. Aneh juga, domba itu melompat sendiri, padahal tak ada pagar atau benda lain yang menghalangi jalannya (hahaha). Dia mendarat di sudut kiri pandangan kameraku, lalu berjalan kekiri hingga keluar dari pandangan. Domba kedua bergerak dengan gerakan yang identik. Kumulai menghitung ketika domba melayang di ketinggian. Satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya. Hitungan mencapai lima puluhan, terjadi suatu perubahan. Tempo mulai tak konstan. Kadang terlalu cepat. Pusing juga aku dibuatnya. Maka kubuat lambat, tapi itu pun tak bisa konstan. Betapapun aku masih mempertahankan fokusku, imajinasiku, dan hitunganku. Tak terasa dua ratus hitungan terlewati. Domba yang tadinya segar bercahaya kini mulai kusut, lompatan yang kekar bertenaga kini mulai susut. Itu masalah mereka, bukan masalahku. Kuteruskan menghitung. 

            Menginjak angka tiga ratusan aku mulai berpikir. Scene domba bersetting padang rumput seakan-akan terpause. Gambarnya semakin kabur, yang kini dominan adalah kata-kata ini, “wah, udah hampir empat ratus tapi kok belum ngantuk, belum bisa tidur juga?”. Untuk beberapa saat kata-kata ini menggaung. Sekali lagi, kutepis keraguan. Padang rumput terlihat jelas kembali, play pun dipencet. Hitungan yang macet kini berlanjut. 381…382…383…384…385…386…387…dan masih berlanjut. Tampaknya domba mulai bosan. Mereka tak lagi melompat, kini hanya berjalan dari sisi kanan kamera menuju sisi kiri kamera. Kumaklumi itu, karena aku pun bosan. Tapi sampai titik ini aku belum menyerah. Domba yang berjalan satu per satu itu masih kuhitung. 402…403…404…
Tak lama kemudian gerakan mereka kembali melambat, terlihat semakin loyo,
431…432…433…………..467…468…469…470……………499…500…501…
Gerakan mereka semakin melambat
513…..514…..515…………………………..523…..524…..525…..
Ketika gerakan mereka tak bisa lagi kutolerir, aku memutuskan untuk berhenti. Kuarahkan pandangan ke sekeliling padang rumput, blindspot kameraku selama ini. Aku kaget, ternyata dombanya hanya ada sekitar 10. Awalnya mereka berbaris di kanan kamera. Setelah berjalan sampai hilang dari pandangan kamera, ternyata mereka memutar, kembali manuju tempat awal melalui sisi belakang kamera untuk kembali membuat barisan. Pantas saja domba-domba itu loyo. Wkwkwkwk, ngakak pool!! Cara klasik pun runtuh disini.

Mataku kembali terbuka. Masih segar, belum bisa tidur. Kulihat jam di hapeku. 00.15. Kaget aku dibuatnya. Sudah selarut ini dan aku belum bisa terlelap. Cepat sekali waktu berlalu. Kini saatnya kuterapkan metode pamungkas. 

--------satu jam kemudian---------
            Kulihat lagi hapeku, 01.23, sepertinya metode pamungkasku belum berhasil. Ya sudahlah.

Rabu, 27 Juli 2011

Buku Merah


Hampir dua jam memikirkan ide untuk menulis. Mau nulis apa? Bingung, benar-benar bingung. Dan sampai di kalimat inilah dua jam pertama menulisku. Hahaha, konyol sekali. Sebenarnya aku baru punya minat menulis akhir-akhir ini saja, sesuatu yang sebenarnya merugikan. Ya, efeknya begini dah. Tujuh belas tahun menghirup udara masih belum cukup buatku untuk bisa menulis dengan baik. Kadang ketika kubaca ulang tulisan 1 halamanku, kata-kata bergaung di pikiranku, “perasaan nulis ini udah 4 jam, tapi kok ya cuman 1 halaman. Gek elek meneh-,-”. Hahaha, emang nasib kurang punya minat nulis dari dulu.
            Nah, tak cerita bentar deh. Barusan aku dapat inspirasi, soalnya habis mbaca buku merah. Eh eh bentar (thinking), cerita nggak ya? Bingung nih. Ya udah tak cerita dikit aja. Jadi to, begini teman-teman, kisah ini dimulai ketika aku masih jongkok di bangku SD. Kelas berapa ya? lupa aku. Bapakku waktu itu memberiku buku baru, merah warnanya. Tertera tulisan di cover depan, “Exclusive AGENDA”. Ya, sebuah buku harian. Aku, yang waktu itu sangat benci menulis, dipaksa (padahal yo enggak) untuk mulai menulis di buku harian. Itulah buku harian pertamaku (sampai sekarang belum ganti sih, wkwk).
            Halaman pertama bukan tulisanku, aku ingat waktu itu aku bertanya ke bapak dengan polosnya, “yang ditulis di sini apa?”. Bapak mengambil buku merahku, menuliskan sesuatu di halaman depan:

            LATIHAN MENULISKAN!!
1.       Kegiatan harian dari pagi hingga malam
2.       Belajar nulis puisi
3.       Rencana n keinginan masa mendatang
4.       Menggambar ato membuat sketsa
5.       Cerita karangan bebas
6.       Hasil dialog dgn teman, ustadz, bapak, ibu, dll
7.       Ringkasan bacaan
8.       Terserah!!

Di halaman berikutnya ada kaligrafi arab beserta artinya. Sebuah doa:
                                                           YA ALAH,
                                          BERILAH AKU CAHAYA YANG
                                            DAPAT MENERANGI HATI
                                           (HINGGA KARYAKU JELAS
                                          DAN MUDAH DIMENGERTI)
                                                BAPAK-Ramadhan 1425

            Disitulah lembaranku dimulai. Tapi sepertinya usaha bapakku belum berhasil. Menulis masih belum jadi kebiasaanku (kecuali kalo nyatet pas pelajaran,, wueit). Tulisan pertamaku di buku merah kubuat 13 Oktober 2004. Tulisan terakhirku (sampe 27 Juli 2011) tanggal 12 Juli 2011. Tujuh tahun sudah, tapi setengah buku pun belum terlewati. Hahaha. Tapi setelah kubaca beberapa bagian dari awal, ternyata lucu juga lho. Polos banget tulisanku waktu itu, jadi ngakak sendiri. Tapi malu juga. Ada pelajaran, cerita harian, jadwal harian, ada juga yang privasi (hmm, apaya?). Ya begitulah, tapi overall nggak rugi aku punya buku merah. 
            Teman, kutahu engkau sudah memulai start lebih dulu. Entah sudah berapa ribu lembar yang kau cetak. Entah sudah sampai edisi keberapa buku merahmu. Lima kah? Atau malah lebih? Yang jelas, kutahu kau sudah jauh di depan. Sementara aku sekarang baru melewati garis start. Mungkin aku masih hijau. Mungkin tintaku belum banyak. Tak peduli seberapa jauh kau melangkah, tak peduli seberapa tinggi gunung yang kau daki, bersiap-siaplah, suatu saat nanti kau kan kulewati.